2025-05-23 17:52

Sejarah Panjang Haji dari Nusantara

Share

HARIAN PELITA — Berhaji Rukun Islam kelima telah dilakukan sejak lama oleh penduduk nusantara. Ritual itu telah dilakukan diperkirakan sejak abad ke-15 karena terjadi hubungan dagang antara pedagang dari Samudera Pasai dengan Kesultanan Turki Utsmani.

Sejumlah sumber mencatat, Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah adalah salah satu orang dari Nusantara yang paling awal berhaji. Ada juga yang menyebut Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten sebagai orang pertama dari Hindia Belanda yang berhaji di tahun 1630.

Sejarawan Muslim Azyumardi Azra mencatat, pada tahun 1556-1566 terdapat lima kapal dagang dari Aceh bersandar di Pelabuhan Jeddah. Para pedagang itu mampir ke Jeddah, untuk menunaikan haji ke Mekkah.

Untuk bisa ke Mekkah, dulu jemaah menyabung nyawa, menggunakan perahu layar, paling cepat enam bulan.

perjalanan dengan resiko dihempas angin laut atau diserang bajak laut.

Peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen mencatat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah orang Nusantara yang berhaji berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jemaah haji.

Menurut Martin,,Jemaah dari berbagai pelabuhan Nusantara berangkat ke Mekkah melalui pelabuhan di Aceh, itulah sebabnya Aceh dijuluki Serambi Mekkah. Dari Aceh Jemaah menunggu kapal ke India untuk dibawa ke Hadramaut
Yaman atau langsung ke Jeddah.

Namun, setelah berhaji banyak dari jemaah yang tidak pulang, melainkan langsung menetap di Arab Saudi untuk menuntut ilmu. Itulah sebabnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Mekah, setelah bahasa Arab.

Setelah terusan Suez dibuka tahun 1869, jemaah haji dari nusantara mulai menggunakan kapal uap.
Tahun 1893 para jemaah dari Nusantara berangkat menggunakan biro jasa haji Y.G.M Herklots dan saudaranya W.H. Herklots yang mematok tarif tinggi, tapi tidak disertai pelayanan yang memadai. Bahkan, jika tiba waktunya pulang jemaah bisa bertahun-tahun di Mekkah karena kapal carteran Herklot kapasitasnya tidak sebanding dengan jemaah yang harus diangkut, sehingga pemulangan dilakukan secara bertahap.

Selepas berhaji, para jemaah haji pulang ke tanah air. Kedudukan yang tinggi di hadapan masyarakat membuat para haji disegani, sehingga membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda kekuasaannya akan goyang.

Di Banten, para haji yang marah dengan sikap sewenang-wenang Pemerintah Hindia Belanda melakukan perlawanan. Perlawanan yang oleh Sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten 1888 tersebut, para petani yang dipimpin Haji Wasid, Haji Usman, Haji Ishak, Haji Abdul Gani dan Haji Tubagus Ismail telah membuat Pemerintah Hindia Belanda kewalahan.

Para haji yang juga telah menetap lama di Arab Saudi juga menjadi penggerak lahirnya pendidikan Islam modern dengan mendirikan pondok pesantren. Seperti KH Hasyim Asyari di Jombang dan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta

Begitu pula dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Samanhudi yang pada 1912 mendirikan Sarekat Islam sebagai wadah perjuangan. Belanda sangat takut dengan kebangkitan umat Islam di Indonesia, karena dalam Islam terdapat prinsip cinta tanah air bagian dari iman.

Kini saat perjalanan haji lebih mudah karena banyak pesawat yang bisa digunakan, dunia diuji dengan wabah Corona. Semoga wabah Corona cepat berlalu, agar umat Islam Indonesia bisa melaksanakan ibadah haji setidaknya sekali dalam seumur hidup. ●Red/DNH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *