
Klarifikasi Andi Bachtiar Yusuf Terkait Sangkaan Melakukan Kekerasan Fisik dan Verbal
HARIAN PELITA — Terkait tuduhan atau sangkaan sutradara Andibachtiar Yusuf telah melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada salah satu kru film perempuan, terlibat dalam sebuah proyek digarapnya, per hari ini, Jumat (2/9/2022).
Andibachtiar Yusuf mengeluarkan pembelaan dengan memberikan pernyataan resmi berjudul; Surat Cinta untuk Teman Teman.
▪︎Berikut pernyataan resmi Ucup;
Saya sadar dalam kurun waktu sekitar 24-30 jam terakhir nama saya rutin disebut di berbagai platform media sosial. Beberapa kawan bertanya secara pribadi lewat saluran yg mereka punya untuk mengakses saya, pagi ini kawan-kawan media pun mulai satu persatu menghubungi saya.
Saya panjang berdiam bukan karena tak punya respon klarifikasi atau kisah yang ingin disampaikan, saya hanya sedang mengambil posisi melihat situasi lapangan, merenungkan setiap sudutnya sekaligus melihat pergerakan kawan. Sampai kemudian malam ini saya rasa inilah saatnya saya mulai memberi respon…..tentu dengan cara saya, cara Andibachtiar Yusuf.
“Sebelum saya lupa masa-masa itu, saya ingin membuat setidaknya sebuah kisah remaja di masa-masa SMA,” demikian ujar saya berulang-ulang sejak tahun 2012. Kalimat yang berulang kali saya sampaikan sembari menjajakan ide Love For Sale (akhirnya produksi di akhir 2017) ke banyak pihak.
Masa SMA adalah masa terbaik bagi banyak orang, masa penuh sukacita romansa, ketika hidup masih sangat sederhana dan problema jauh dari pandangan mata.
2,5 tahun lalu sahabat saya Robert Ronny dari Paragon Pictures meminta saya menyutradarai series Catatan Akhir Sekolah, sebuah kisah remaja yang pernah dihidupkan dgn sangat baik oleh Hanung Bramantyo.
antusiasme saya untuk project ini, sejak masa prematur tanpa rumah, dijanjikan akan ke Disney+ sampai akhirnya berlabuh di Vision+ saya setia menanti…..karena inilah impian saya, bahkan saya sama sekali tak peduli ketika Robert menego fee saya demi terus beradanya project ini di tangan saya.
Kami mengalami byk hal dalam persiapan, hal-hal yang sering terjadi di sebuah produksi. Persiapan yang praktis pas2an sampai tentu saja naskah (yang ditulis oleh Utiuts dkk) harus dipangkas tuntas demi bisa diproduksi dalam segala keterbatasan.
Sepanjang produksi wajah2 kawan2 masa remaja, tingkah lakunya dan gadis2 yang menolak tembakan saya melintas. Loncat pagar demi menghindari razia potong rambut seperti ingin saya ulangi lagi.
Jauh sebelum produksi saya sempat meminta hari libur demi datang ke reuni SMA saya dan hari itu saya melihat wajah2 kawan saya yang segala representasi tingkah mereka di masa lalu saya visualkan di series ini.
Produksi berjalan selayaknya produksi kecil lainnya, kecuali ketiadaan Line Producer (pimpro) sepanjang produksi semua berjalan sebagaimana mestinya.
Kami sama sekali tidak pernah hutang scene dan selalu menuntaskan tugas dengan baik. Sampai kemudian terjadilah situasi yang seharusnya bisa diantisipasi di masa persiapan produksi.
Suatu hari kami merasa kekurangan figuran dan saya merasa permintaan akan jumlah serta seperti apa pakaian mereka sudah terdata setidaknya H-2 sebelum produksi.
Saya pernah memaksakan shooting dgn jumlah figuran terbatas, hasilnya buruk dan tentu saja nama saya ada dlm tekanan dan catatan.
Makanya saya memaksa untuk menggenapi jmlh sesuai dengan kesepakatan. Saya kesal dan memaksa talent coordinator (sebut saja “kru”) utk melengkapi jumlah, saya dorong agar menjauh karena saya sangat kesal. Sebagai orang yg percaya bhw kekerasan sebaiknya hanya terjadi di film aksi, saya yakin betul bahwa adalah DORONGAN yang saya lakukan, bukan TAMPARAN.
Kami kemudian melanjutkan pekerjaan, sempat menari di areal panggung pensi berslamdancing, moshpitting serta tentu saja membentuk circle of death seperti di masa2 lalu saya sungguh bahagia, masa remaja seperti datang kembali….memori dan kehidupan tanpa beban.
Selepas beberapa scene (adegan) itu saya sempat menerima komplen dari seseorang yang merasa tidak terima karena beranggapan saya telah melakukan kekerasan pada anaknya.
Saya ingat betul saat itu selain tentu menyampaikan maaf, saya juga bilang bahwa “Mungkin dorongan saya terlalu keras, saya minta maaf,” si bapak tampaknya tidak terima, ia blg ia tak pernah memarahi anaknya dan saya tentu sudah punya anak.
Saya ingat saya jawab “Iya memang pak, saya punya 2 anak perempuan dan sayapun tak ingin ada kekerasan dalam hidup dia,”
Tampaknya si bapak kurang puas dan terus memaksa saya untuk tetap berbicara dengannya sementara saya pikir hari sudah semakin siang dan pekerjaan harus dituntaskan.
Ia menarik saya dan—dengan segala hormat pada sang bapak—saya mengabaikannya dan memilih untuk kembali memaksa tim saya untuk kembali bekerja.
Sungguh saya sadar pada situasi produksi yang tanpa pemimpin produksi, tanpa pengambil keputusan diatas lapangan terhadap kebutuhan produksi, tanpa sosok yang bisa diajak berdiskusi dan tentu saja—mengutip ucapan asisten saya—“Kita kehilangan sosok ayah di produksi ini,” tak ada orang yang melindungi kami agar tak ada penyusup datang ke set (sisi lebih dalam lokasi).
Ketidak hadiran Pimpinan Produksi (line producer) dan juga Casting Director di lokasi memang membuat keseimbangan kerja saat itu menjadi terganggu.
Saya memang manusia biasa, di usia jauh lebih muda terkadang amarah sering memaksa untuk dikeluarkan. Tapi selain perjalanan usia, saya melihat sendiri bahwa kompromi adalah hal utama yang harus mampu kita lakukan di industri ini.
Percayalah, saya bisa berada di posisi hari ini adalah —salah satunya—berkat kemampuan beradaptasi dengan situasi yang “baik” , di Catatan Akhir Sekolah misalnya, saya meminta kawan2 untuk tidak mempersoalkan sajian pop mie atau nasi goreng tanpa lauk (telurpun tak ada) utk mengganti biaya overtime (lewat waktu) kerja kita.
Industri membutuhkan orang2 kuat yang punya dedikasi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Itulah yang kemudian saya lakukan sejak tanggal 22 Agustus itu sampai hari terakhir produksi di 29 Agustus.
Lalu ketika sebuah post di media sosial memaksa saya berdiri di pojok menjadi sasaran tembak sayapun percaya bahwa industri ada di belakang saya, apalagi Eksekutif Produser adalah kawan baik saya.
Well hidup memang sungguh belum tentu seindah masa SMA, permintaan saya pada asosiasi (IFDC) untuk melakukan mediasi dengan “kru” yang bersangkutan sama sekali tidak digubris.
Bahkan fakta bhw adik dari “kru” itu adalah orang yang membelikan saya perban dan sempat menari di sisi kanan saya di depan panggung itu seperti memberi makna bahwa apa yang telah terjadi adalah persoalan kerja, bukan personal.
Saya membaca pernyataan Paragon tentang pemecatan dengan rasa tak percaya, apalagi pemberitahuan resmi baru mereka lakukan beberapa jam setelah mereka merilis pernyatan di media sosial—tentu tanpa menyediakan wacana mediasi dengan “kru” ybs—bukan sebelumnya. Keputusan yang hanya berjarak tak sampai 10 jam dari postingan yang lalu menjelma menjadi viral. Lagi-lagi dilakukan tanpa meminta saya mengklarifikasi suasana.
Tentu saya sadar bahwa suasana sungguh sangat tidak bersahabat dan orangpun sudah tak peduli lagi pada apa yang terjadi. Informasi sepihak dan segala macam “gorengan” dari banyak akun-akun penuh pesona membuat saya sungguh berada di gawang sepi menerima serbuan penyerang lawan tanpa ada pemain bertahan mau membantu.
Saya percaya Tuhan masih ada dan Dia tahu apa yang sesungguhnya terjadi, banyak orang religius memahami kalimat itu dengan baik. Mungkin selama ini saya sempat jauh dari Tuhan, tapi saya percaya di situasi macam ini Dia tetap memperhatikan apa yang sedang terjadi. ●Red/Sat