2025-06-09 8:56

Marahi Suami Mabuk Istri Dituntut Satu Tahun Jaksa Agung Ambil Langkah Ekstrem

Share

HARIAN PELITA JAKARTA — Kasus isteri marahi suami pulang dalam kondisi mabuk menjadi perhatian serius Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Perkara KDRT dengan Terdakwa Valencya alias Nengsy Lim dituntut oleh JPU selama satu (1) tahun di PN Karawang.

Menurutnya, salah satu contoh penegakan hukum tersebut dinilai tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Mendengar tuntutan 1 tahun, Jaksa Agung segera memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melakukan eksaminasi khusus terhadap penanganan kasus KDRT psikis ini.

“Saudara sekalian tentunya terkejut dengan langkah ekstrem yang saya lakukan, mulai dari tindakan eksaminasi, mencopot Aspidum, menarik penanganan perkara, dan menuntut bebas. Perlu saudara sekalian ketahui bahwa tindakan itu terpaksa saya ambil karena Jaksa-Jaksa saya di bawah ternyata tidak profesional dan tidak peka,” tegas Burhanuddin, Senin (29/11/2021).

Selain mengambil alih kasus, Kejagung juga akan melakukan pemeriksaan fungsional terhadap Jaksa yang menangani perkara ini. Burhanuddin menambahkan, tuntutan Jaksa tersebut nampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.

Namun demikian, pencabutan tuntutan itu dilakukan setelah Jaksa melakukan eksaminasi khusus di kasus ini. Hasilnya, jaksa penuntut umum (JPU) tak menemukan bukti perbuatan KDRT psikis yang dilakukan
Valencya ke mantan suaminya, Chan Yu Ching. Jaksa meminta Valencya dibebaskan dari segala tuntutan.

Awalnya, Valencya dilaporkan suaminya Chan Yu Ching ke Polda Jawa Barat pada September 2020. Setelah dilakukan penyelidikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, status Valencya pun ditingkatkan menjadi tersangka pada 11 Januari 2021 lalu.

” Kalian harus ingat bahwa atribut kewenangan yang ada pada kalian adalah pendelegasian kewenangan dari saya, yang sewaktu-waktu bisa saya cabut manakala kalian saya nilai tidak cakap dalam mengemban tugas dan kewenangan itu,” kata Jaksa Agung.

Kemudian, dikatakan Jaksa Agung, semangat dan ruh dari Pedoman No. 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum adalah memberikan kepercayaan penuh kepada Kajari sebagai pengendali perkara. Sedangkan, Kajati sebagai quality control, dan Kejaksaan Agung sebagai evaluator.

Artinya adalah seharusnya penanganan perkara lebih mampu menyerap rasa keadilan di lingkungan masyarakat setempat, karena pengendalian perkara berada di tangan para Jaksa yang ada di lingkungan tersebut.

” Saudara sekalian bercermin dari peristiwa di Karawang, saya minta Kajati dan Kajari dapat mengevaluasi dan memonitor pemahaman dan kepatuhan para Aspidum dan Aspidsus serta Kasi Pidum dan Kasi Pidsus terhadap Pedoman No. 3 Tahun 2019 tersebut,” terangnya. ●Red/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *