
Komitmen Kuat Negara dan Kolaborasi semua Pihak Diperlukan Wujudkan Rumah Singgah Terjangkau
HARIAN PELITA — Kerja sama pemerintah dan swasta serta komitmen negara yang kuat sangat dibutukan dalam pemerataan akses layanan kesehatan melalui pemenuhan penunjang, seperti rumah singgah bagi penderita kanker.
“Bagaimana kita dihadapkan pada situasi munculnya ketimpangan akses pelayanan yang menjadi hambatan dalam proses pengobatan kanker,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat pada Focus Group Discussion (FGD) MPR RI bertema Rumah Singgah: Kebutuhan Akses Pelayanan Kesehatan yang digelar di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).
Diskusi dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu dihadiri dr Inez Nimpuno (Praktisi Medis), Aryanti Baramuli (Ketua Umum
Cancer Information & Support Center/CISC),
dr H Subianto, Sp.B., Sp.B.Subsp.Onk (Rumah Sakit Ken Saras), Ikhwan Saefulloh (Pengelola Rumah Singgah Sahabat Lestari) dan Shanty Ambarsari (Ketua Pantura Cancer Community /Pancacom) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, upaya untuk memperkecil gap pada pelayanan kesehatan termasuk bagi penderita kanker harus diwujudkan.
Beban masyarakat, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, bukan sekadar biaya pengobatan, sehingga kehadiran rumah singgah yang terjangkau bagi penderita kanker di setiap layanan kesehatan sangat membantu.
Close the Care Gap sebagai satu semangat pada peringatan Hari Kanker Sedunia untuk memperbaiki mutu layanan kesehatan, jelas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, harus direalisasikan segera melalui upaya bersama menantang mereka yang berkuasa (Together, We Challenge Those in Power).
Upaya mendesak pemangku kebijakan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang lebih baik bagi penderita kanker melalui ketersediaan rumah singgah yang terjangkau, tegas Rerie, sangat penting.
Karena, ujar Rerie, meski angka kasus kanker dianggap kecil, tingkat kesembuhannya masih rendah. Padahal, tambah dia, untuk pengobatan sudah ada bantuan dan BPJS Kesehatan.
Kesenjangan pelayanan itu, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, diakibatkan keterbatasan rumah sakit dengan fasilitas yang memadai bagi penderita kanker, termasuk rumah singgah.
Catatan Kementerian Kesehatan RI, di Indonesia hanya terdapat 714 unit rumah sakit (RS) dengan sarana kemoterapi, 507 unit RS dengan onkologi board, dan 35 RS dengan sarana radioterapi.
Data tersebut, jelas Rerie, belum termasuk fasilitas lain yang memenuhi prasyarat standar pelayanan minimal dalam bidang kesehatan seperti rumah singgah.
Praktisi Medis, Inez Nimpuno yang hadir secara daring itu mengungkapkan jumlah kasus baru kanker di dunia terbanyak adalah di negara-negara berkembang.
Terkait keberadaan rumah singgah dalam rangkaian layanan kesehatan, menurut Inez, harus diperhatikan aspek legalistik dan menyasar kelompok paling rentan.
Pola umum pengelolaan rumah singgah di Indonesia, tambah Inez, biasanya dilakukan komunitas dan swasta, tidak ada kesinambungan dalam mencapai tujuan layanan.
Agar pengelolaan rumah singgah berkelanjutan, jelas Inez, harus ada pengakuan dengan mengupayakan status hukum pengelolanya. •Redaksi/Rls