2025-06-02 1:58

Guru Besar UIN Angkat Bicara Soal KUA Tempat Pencatatan Perkawinan Semua Agama

Share

HARIAN PELITA — Kementerian Agama (Kemenag) menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pencatatan perkawinan bagi semua pemeluk agama.

Rencana ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun, terdapat sejumlah hal yang harus dilakukan agar rencana tersebut berjalan dengan optimal.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menyambut baik rencana KUA sebagai tempat pelayanan bagi semua agama.

Ia menjelaskan, esensi Kemenag sebagai organisasi negara yang melayani seluruh umat beragama dapat direalisasikan dengan rencana tersebut.

“Ini gagasan out of the box namun sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah Kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung oleh pelbagai pihak,” ujar Tholabi di Jakarta, Senin (26/2/2024).

Tholabi menandaskan, rencana Kemenag harus terlebih dahulu dikonsolidasikan melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM).

Berbagai aspek menurutnya penting dikonsolidasi untuk memastikan bahwa rencana itu dapat berjalan dengan baik.

“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu,” terang Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta.

Kemudian Tholabi mengungkapkan dari sisi regulasi secara eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan perkawinan di dua klaster. Klaster tersebut yakni pencatatan perkawinan untuk muslim dan pencatatan perkawinan bagi non muslim. Tetapi, soal regulasi diutarakan Tholabi, membutuhkan energi yang tidak ringan.

Seperti diuraikan oleh Tholabi bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Taun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA).

Di bagian ini, Tholabi mengingatkan akan berdampak pada persinggungan dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi, baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antar instansi.

“Jadi tidak sekadar urusan regulasi, tapi harus melakukan penyamaan persepsi antar kementerian dan pelaksana teknis di lapangan,” imbuh Tholabi.

Di bagian lainnya, Tholabi juga memotret tentang satuan kerja yang membidangi masalah Kantor Urusan Agama (KUA), yakni Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Menurut dia, perihal penyesuaian organisasi di internal kementerian tidak begitu krusial.

“Saya kira, jika urusan internal organisasi di Kementerian Agama tidak terlalu rumit, tinggal reposisi dan membuat payung hukum saja,” kata Tholabi.

Dari aspek lainnya, Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini juga menyebutkan soal kesiapan SDM di lapangan yang mesti dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas dan pengetahuan demi pelayanan yang prima kepada masyarakat.

“Soal SDM di lapangan juga perlu dipikirkan untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan. Mereka adalah garda terdepan dalam pelayanan di bidang keagamaan, khususnya soal pencatatan perkawinan,” ungkap Tholabi. •Redaksi/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *