
Lika-Liku Kisah Wartawan || Catatan Nur Terbit
SEKADAR diketahui, untuk bisa dianggap sudah kompetensi, maka seorang wartawan “alumni” UKW, harus melewati tiga level.
Pertama, level MUDA (kategori wartawan). Kedua, MADYA (redaktur), dan ketiga UTAMA (pemimpin redaksi). Tidak sedikit yang “gugur” saat ujian di ketiga level tersebut. Alias tidak kompeten.
Dari level Muda menuju Madya, seorang wartawan harus menunggu 3 tahun, dan dari Madya ke Utama perlu menanti 2 tahun. Selanjutnya untuk bisa menjadi Penguji UKW, syaratnya sudah level wartawan Utama. Ini juga melalui seleksi dan ikut TOT (Training of Trainer), dan magang sebagai calon penguji UKW.
Adapun persyaratan
untuk mengikuti kegiatan TOT tersebut, setidak ada 8, antara lain adalah:
- Anggota Biasa PWI, bukan Penguji dan bukan Penguji Magang PWI;
- Memiliki Sertifikat Wartawan Utama dari Lembaga Uji PWI;
- Bersedia mengikuti TOT Virtual secara penuh waktu. Maklum masa pendemi. Pelatihan dilakukan secara online;
- Bersedia mengikuti tes pemahaman terkait Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan;
- Bersedia mengikuti ceramah/diskusi tentang Kode Etik Jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun 1999, peraturan terkait pers lainnya, serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak;
- Bersedia menulis makalah dan menyerahkannya ke Sekretariat PWI Pusat, paling lambat tiga hari kerja setelah TOT Virtual tentang implementasi Kode Etik Jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun1999, peraturan terkait pers lainnya, serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak;
- Bersedia mengikuti magang calon penguji minimal tiga kali (muda, madya, utama) untuk
memperoleh sertifikat telah mengikuti/lulus TOT Virtual; - Bersedia menanggung beban biaya pulsa selama penyelenggaraan TOT Virtual;
Jadi, jangan anggap enteng itu UKW. Sebab di ujian tersebut, anggaplah sebagai latihan atau simulasi. Bagaimana menjadi wartawan, redaktur (editor), pemimpin redaksi (pemred) satu media yang sesungguhnya.
Melalui UKW, juga akan dilihat apakah Anda sudah kompetensi sebagai wartawan, redaktur, pemimpin redaksi atau hanya sekedar “kaleng-kaleng”, “abal-abal”, “muntaber” (muncul tanpa berita) atau “pasukan Bodrex”?
Bisa jadi Anda hanya sekedar “wartawan” (dalam tanda kutip) yang bermodal kartu pers, yang entah medianya apa, dan apa sudah pernah ikut UKW. Jangan-jangan kartunya juga palsu, atau asli tapi beli.
Sama dengan kasus soal gelar “Profesor” satu kampus yang belum lama ini heboh dan viral di media sosial. Tapi ternyata dilaporkan ke polisi karena diduga palsu.
Atau Anda termasuk sarjana, magister, doktor lulusan STIA alias Sekolah Tiada Ijazah Ada. Tidak pernah masuk kampus, tidak ikut wisuda, tau-tau beli ijazah.
Eh belakangan ketahuan ijazahnya tidak tercatat di Kemendikbud. Itu pun ketahuan setelah mau dan sudah jadi anggota legislatif, pejabat birokrasi atau jabatan lain hahaha…
Sekali lagi, jangan sepelekan status dan profesi wartawan. Proses pencapaiannya cukup panjangndan berliku. Tidak sesingkat perjalanan, misalnya, untuk menjadi seorang netizen jurnalist, Youtuber, Selebgram, Tiktoker, atau content kreator, pemburu konten dan sebangsanya. *** ●Penulis wartawan senior dan pengacara