2025-07-29 23:21

Podcast “Dear President” Capai 100 Episode: Suara Kritis untuk Presiden, Bukan Demi Viral

Share

HARIAN PELITA — Di tengah maraknya konten hiburan dan selebritas dalam dunia podcast, kanal independen “Dear President” justru tampil berbeda.

Memasuki episode ke-100, podcast digagas tiga jurnalis senior ini hadir sebagai medium penyampaian suara rakyat langsung kepada Presiden Republik Indonesia—tanpa perantara dan tanpa pretensi viral.

Dimulai dari diskusi santai antara Haris Jauhari, Didi Suprianto, dan Nugroho F. Yudo, “Dear President” lahir bukan dari kebutuhan untuk mengejar popularitas, melainkan dari kegelisahan akan terbatasnya ruang kritik yang jujur di ruang publik.

“Sebetulnya ini nekat, ya. Kita buat podcast bukan untuk jadi konten viral, tapi cuma mau ngomong ke Presiden langsung. Kalau beliau dengar, itu sudah cukup,” ujar Nugroho saat persiapan episode ke-100.

“Dear President” tampil dengan pendekatan tanpa sponsor, tanpa studio mewah, dan tanpa tuntutan algoritma. Semua episode disusun secara organik dengan tema yang dipilih lewat diskusi panjang—sering kali bahkan dibatalkan jika dinilai belum matang atau kurang relevan.

Menurut Haris Jauhari, podcast ini hadir sebagai alternatif atas diskursus publik yang kian bising di media sosial. Sebagai jurnalis, mereka merasa perlu menyampaikan kritik berbasis data namun tetap dengan bahasa rakyat.

“Kami jurnalis, bukan buzzer. Kita tahu bicara pakai data, tapi bahasanya tetap bahasa rakyat,” ujar Haris.

●Episode ke-100 angkat isu panas: beras oplosan
Momentum spesial 100 episode dimanfaatkan untuk membahas isu sensitif: “Beras Oplosan.”

Mereka menyoroti kontradiksi antara data resmi pemerintah tentang stok beras dan praktik di lapangan yang merugikan petani dan masyarakat.

Nugroho mengungkap adanya penumpukan beras lama di gudang Bulog yang berpotensi menjadi sumber oplosan.

Haris Jauhari menambahkan analisis kritis mengenai ketidaksesuaian antara angka produksi nasional dengan kebutuhan konsumsi yang sebenarnya tidak mendesak untuk impor.

“Produksi kita 30 juta ton, kebutuhan 22 juta ton. Harusnya surplus. Tapi kenapa kita impor? Di mana logikanya?” tanya Haris.
Sementara itu, Didi Suprianto menegaskan, kritik mereka bukan untuk memprovokasi, melainkan untuk mengembalikan akal sehat publik dalam menilai kebijakan pemerintah.

Ketiganya sepakat bahwa tujuan utama mereka bukanlah popularitas, tetapi ketepatan pesan. Di era digital yang dipenuhi konten viral dangkal, “Dear President” tetap berpegang pada idealisme jurnalistik.

“Kalau mau cari viral, gampang. Tapi itu bukan tujuan kami. Kami bicara untuk Presiden, bukan untuk YouTube Ads,” kata Nugroho.

Meski tidak selalu ramai di jagat maya, podcast ini diam-diam mendapat apresiasi dari masyarakat sipil dan tokoh publik karena keberaniannya menyuarakan kebenaran dengan konsisten.

Kini, setelah 100 episode, tantangan utama podcast “Dear President” adalah bagaimana tetap relevan tanpa mengorbankan idealismenya. Di tengah serbuan konten ringan dan menghibur, mereka bertekad tetap menjadi platform suara kritis untuk Presiden dan bangsa.

“Kami tidak bisa memastikan apakah Presiden mendengarkan atau tidak. Tapi kami akan tetap bicara, karena suara rakyat harus terus hidup,” tutup Didi. ●Redaksi/Satria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *