
Orang Tidak Mendengar Argumenmu Saat Emosinya Merasa Diserang
HARIAN PELITA — Menurut Daniel Goleman dalam Social Intelligence, otak manusia memproses isyarat emosional lebih cepat daripada kata-kata.
Artinya, satu nada bicara atau ekspresi wajah bisa menentukan apakah orang lain akan membuka diri atau justru menutup semua ruang dialog.
Di kehidupan sehari-hari, kita sering masuk ke percakapan panas tanpa persiapan. Debat dengan pasangan, konflik kerja, adu pendapat soal politik—semuanya bisa berubah jadi bencana kalau salah satu pihak bicara dengan defensif, agresif, atau justru dingin dan meremehkan.
Dalam Crucial Conversations karya Patterson, Grenny, McMillan, dan Switzler, dijelaskan bahwa inti dari komunikasi efektif di situasi menegangkan adalah keamanan psikologis.
Orang baru akan mendengarkan ketika merasa dihargai, bukan diserang. Maka, teknik bicara bukan soal kata-kata pintar, tapi soal menciptakan ruang aman lewat bahasa tubuh, nada, dan niat yang terkontrol.
●Berikut tujuh teknik bicara yang bisa langsung kamu latih agar tetap tenang, terhubung, dan terdengar di situasi tegang.
▪︎1 Turunkan nada suara, bukan volume argumen
Semakin tinggi tensi suasana, semakin penting untuk menurunkan intensitas suara. Bukan melemah, tapi memberi sinyal bahwa kamu hadir untuk memahami, bukan menyerang. Ini seperti mengundang orang duduk, bukan menantangnya berdiri. Suara yang tenang memengaruhi sistem saraf lawan bicara untuk ikut tenang.
▪︎2 Gunakan kalimat “Saya merasa” daripada “Kamu selalu”
Saat emosi meledak, kalimat seperti “kamu itu egois” lebih mudah keluar. Padahal ini menuduh dan membuat orang defensif. Ubah jadi “saya merasa tidak diperhatikan ketika…” Kalimat ini memindahkan fokus dari menyerang ke menjelaskan. Ini bukan trik manipulasi, tapi bahasa jujur yang dewasa.
▪︎3 Diam 3 detik sebelum menjawab
Diam bukan tanda kalah. Dalam Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menunjukkan bahwa jeda membuat kita pindah dari sistem berpikir cepat (emosional) ke sistem berpikir lambat (rasional). Diam tiga detik memberi ruang sadar, bukan reaktif.
▪︎4 Validasi emosi lawan bicara
Katakan “aku bisa paham kenapa kamu kesal” meski kamu tidak setuju dengan isinya. Validasi bukan berarti membenarkan, tapi memberi ruang emosi untuk diakui. Validasi membuka pintu dialog, bukan jebakan debat.
▪︎5 Bicara dengan tubuh terbuka
Bahasa tubuh bicara lebih dulu dari kata-kata. Dalam buku What Every Body is Saying karya Joe Navarro, postur terbuka—seperti bahu rileks, tangan terbuka, pandangan lembut—menciptakan rasa aman. Sedangkan lengan menyilang dan wajah menantang memicu pertahanan.
▪︎6 Ajukan pertanyaan, bukan pernyataan tertutup
“Menurutmu apa yang bisa kita lakukan dari sini?” lebih kuat daripada “kita harus sepakat sekarang.” Pertanyaan membuka kemungkinan, pernyataan menutup ruang. Pertanyaan yang baik mengubah konflik jadi kolaborasi.
▪︎7 Sadari tujuan utamamu: menang debat atau jalin hubungan
Sebelum bicara, tanyakan pada diri sendiri: apakah tujuanmu ingin didengar atau hanya ingin menang? Situasi tegang mudah memprovokasi ego. Tapi kalau kamu sadar bahwa hubungan lebih penting daripada ego, kamu akan memilih kata dengan lebih bijak.
Kalau kamu ingin konten eksklusif seputar teknik komunikasi dari buku-buku terbaik, langsung aja subscribe konten premium LogikaFilsuf.
Sekarang pertanyaannya: dari ketujuh teknik ini, mana yang paling sulit kamu praktikkan dan kenapa?. ****