2025-08-23 18:38

Dibalik Tragedi BRI: Analisis Kriminologis Motif Fraud dan Pembunuhan Berencana || Oleh Syarif Hidayat Pangorieseng

Share

PENYERGAPAN di parkiran Lotte Mart Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada 20 Agustus 2025, bukanlah sebuah insiden kebetulan. Itu adalah puncak dari perencanaan kriminal yang dingin dan terukur.

Polisi telah bergerak cepat. Empat tersangka penculik telah diamankan, namun otak intelektual di balik pembunuhan ini masih diburu.

Tragedi penculikan dan pembunuhan terhadap Mohamad Ilham Pradipta (37), Kepala Kantor Cabang Pembantu BRI Cempaka Putih, bukan kejahatan brutal biasa.

Melalui kacamata kriminologi, kasus yang menggemparkan masyarakat ini memperlihatkan sebuah simulasi kelam dari kalkulasi rasional yang didorong oleh motif finansial berskala besar, serta bagaimana kejahatan kerah putih (white collar crime) dapat bereskalasi menjadi kekerasan terorganisir yang paling sadis.

Kalkulasi Untung-Rugi dalam Teori Rational Choice Spekulasi publik beredar kuat bahwa dalang di balik pembunuhan ini adalah orang yang terlibat dalam kasus kredit fiktif senilai Rp13 miliar.

Teori ini berasumsi bahwa pelaku kejahatan adalah individu yang rasional. Mereka melakukan kalkulasi untung-rugi sebelum bertindak. Dalam kalkulasi pelaku, manfaat untuk menutupi kasus fraud tersebut dengan menghilangkan saksi kunci atau pihak yang mengetahui, dipandang jauh lebih besar daripada risiko melakukan pembunuhan, terutama jika mereka yakin dapat menghindari deteksi.

Perencanaan yang matang, mulai dari pengamatan rutinitas korban, pemilihan lokasi penculikan, hingga metode eksekusi, semua mengindikasikan sebuah keputusan yang telah dipertimbangkan untuk meminimalisir risiko dan memaksimalkan keuntungan dari tindakan kriminal tersebut.

Viktimologi: Korban yang Tidak Berkontribusi dalam Pusaran Kejahatan
Dari sudut pandang viktimologi, MIP (37), merupakan contoh dari non-precipitative victim, korban yang tidak berkontribusi terhadap kejahatan yang menimpanya.

Sebagai Kepala Cabang Bank BRI, ia menjadi target “layak” dalam perspektif pelaku karena dianggap mengancam kepentingan mereka . Korban memiliki peran strategis yang membuatnya rentan menjadi target.

Rutinitasnya yang dapat diprediksi, seperti jam pulang kerja mau pun kegiatan lainnya, kemudian dimanfaatkan pelaku yang telah termotivasi. Merujuk pada Teori Aktivitas Rutin (Routine Activity Theory) teori ini menyatakan bahwa kejahatan terjadi ketika bertemu nya tiga elemen: pelaku yang termotivasi, target yang sesuai, dan tidak hadirnya penjaga yang mampu.

Eskalasi kejahatan kerah putih dan reaksi masyarakat

Yang menarik dari kasus ini adalah eskalasinya dari dugaan kejahatan kerah putih (fraud dan penggelapan uang) menjadi kejahatan kekerasan terencana (violent crime). Ini adalah sebuah eskalasi yang tragis namun menunjukan betapa batas antara kedua jenis kejahatan itu ketika uang dalam jumlah besar menjadi taruhannya.

Reaksi masyarakat di media sosia yang langsung pada motif fraud, mencerminkan ketidakpercayaan publik dan kecemasan kolektif terhadap sistem perbankan serta kekhawatiran akan maraknya kejahatan finansial yang berujung pada kekerasan.

●Refleksi dan langkah ke depan
Sebagai penutup, tragedi ini harus menjadi katalis bagi dunia perbankan dan korporat Indonesia untuk melakukan sebuah refleksi mendalam dan mengambil langkah-langkah konkret. Pertama dan terpenting, institusi keuangan tidak bisa lagi memandang keamanan hanya dari aspek finansial semata, tetapi harus diperluas hingga mencakup perlindungan fisik dan psikologis bagi karyawan-karyawan kunci yang berada di garda depan, terutama mereka yang menangani posisi-posisi berisiko tinggi seperti penagihan kredit atau investigasi fraud. Sistem keamanan yang proaktif, mulai dari protokol, pengawasan hingga pendampingan untuk situasi tertentu, merupakan opsi yang harus dipertimbangkan.

Lebih jauh, pencegahan tentu selalu lebih baik daripada mengobati. Penguatan sistem audit internal dan mekanisme pelaporan pelanggaran yang benar-benar independen, aman, dan terpercaya merupakan benteng pertama untuk mendeteksi potensi kecurangan sejak dini.

Dengan menutup rapat-rapat celah terjadinya fraud, kita secara otomatis memotong rantai yang berpotensi bereskalasi menjadi kekerasan tragiss seperti yang kita saksikan ini.

Pada akhirnya, proses hukum yang transparan, adil dan berintegritas terhadap semua pihak yang terlibat, tidak terkecuali para otak intelektual yang didalangi motif keserakahan, adalah syarat mutlak.

Masyarakat menunggu keadilan untuk Ilham dan keluarganya, sekaligus juga menunggu komitmen bersama untuk membangun sistem yang lebih baik, sehingga dunia bisnis tidak lagi dicemari oleh nalar rusak yang menghitung bahwa sebuah nyawa manusia memiliki harga yang bisa dikalahkan oleh sejumlah uang.
Penulis Mahasiswa Kriminologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *