2025-08-24 8:34

Mengapa Soekarno dan Gus Dur Ingin Membubarkan DPR || Penulis Suyatno Abu Bakar

Share

DUA FIGUR paling ikonik dalam sejarah kepresidenan Indonesia, Ir Soekarno sebagai Presiden Pertama dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Keempat, secara mengejutkan memiliki satu pandangan yang serupa: keinginan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebuah gagasan yang terkesan paradoks mengingat keduanya adalah pemimpin yang meyakini prinsip demokrasi, namun menghendaki pembubaran salah satu pilar utama demokrasi itu sendiri.

Keinginan ini muncul dari konteks sejarah dan motivasi yang berbeda, namun sama-sama mencerminkan ketegangan abadi antara efisiensi eksekutif dan peran legislatif dalam pembangunan bangsa.

Pada era Soekarno, keinginan untuk membubarkan atau setidaknya mereduksi peran DPR muncul dari frustrasi mendalam terhadap ketidakstabilan politik pasca-kemerdekaan.

Dekade 1950-an ditandai oleh sistem parlementer yang kerap goyah, dengan kabinet yang silih berganti dan parlemen yang cenderung fragmentatif akibat berbagai faksi ideologi. Konstituante, yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru, juga terjebak dalam kebuntuan ideologis.

Soekarno melihat kondisi ini sebagai penghambat utama bagi pembangunan nasional dan konsolidasi revolusi.

Konsep “Demokrasi Terpimpin” yang ia cetuskan pada akhirnya adalah upaya untuk memusatkan kekuasaan di tangan eksekutif demi mencapai stabilitas dan percepatan pembangunan.

Meski tidak secara harfiah membubarkan DPR seperti yang kita kenal sekarang, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 1945 secara efektif mengurangi peran legislatif dan memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, menandai dominasi eksekutif atas legislatif.

Bagi Soekarno, DPR yang gaduh dan lamban adalah beban, bukan pendorong kemajuan bangsa.

Beranjak ke era Reformasi, Gus Dur, seorang tokoh pluralis dan demokrat sejati, juga menyuarakan keinginan serupa, namun dengan latar belakang yang sangat berbeda.

Menjabat di masa transisi demokrasi setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru, Gus Dur menghadapi tantangan berat dalam mengkonsolidasikan demokrasi dan memberantas korupsi.

Dalam pandangannya, DPR pada masa itu seringkali terkesan menghambat agenda reformasi, terjebak dalam intrik politik, dan bahkan disinyalir terlibat dalam praktik korupsi.

Kekecewaannya terhadap kinerja legislatif yang dianggap tidak responsif terhadap kepentingan rakyat dan lebih mementingkan agenda partai atau pribadi memuncak dalam ancaman untuk membubarkan DPR.

Bagi Gus Dur, sebuah lembaga legislatif yang tidak efektif, korup, dan menjadi alat tawar-menawar politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan demokrasi.

Pernyataannya yang kerap kontroversial dan taktis ini, meski akhirnya berujung pada pemakzulan dirinya, mencerminkan kejengkelan seorang pemimpin yang ingin melihat negara berjalan lurus dan bersih.

Melihat kembali kedua fenomena ini, terdapat benang merah yang menarik sekaligus perbedaan mendasar. Keduanya adalah pemimpin kuat yang merasa visinya untuk bangsa terhambat oleh lembaga legislatif.

Soekarno didorong oleh urgensi persatuan dan pembangunan di tengah gejolak pasca-kemerdekaan, sementara Gus Dur didorong oleh idealisme reformasi dan pemberantasan korupsi di tengah transisi demokrasi yang rapuh.

Perbedaan konteks historis ini juga membedakan implikasi dari keinginan mereka. Soekarno berhasil meneguhkan dominasi eksekutifnya, sementara Gus Dur justru kehilangan jabatannya akibat ketegangan dengan DPR.

Namun, di balik perbedaan ini, keduanya melihat DPR sebagai entitas yang, pada titik tertentu, gagal menjalankan fungsinya secara optimal sebagai representasi rakyat dan kontrol terhadap kekuasaan.

Keinginan dua presiden dengan kaliber dan pengaruh sebesar Soekarno dan Gus Dur untuk membubarkan DPR adalah cerminan dari dialektika rumit antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam sistem demokrasi Indonesia.

Ini menyoroti ketegangan antara kebutuhan akan kepemimpinan yang kuat dan efektif di satu sisi, dengan prinsip checks and balances serta representasi rakyat di sisi lain.

Pada intinya, keinginan tersebut bukanlah anti-demokrasi secara murni, melainkan sebuah bentuk frustrasi terhadap fungsionalitas institusi demokrasi itu sendiri.

Ia mengingatkan kita bahwa sebuah parlemen, seberapa pun fundamental perannya, harus tetap akuntabel, efisien, dan berpihak pada kepentingan rakyat, agar tidak menjadi batu sandungan bagi kemajuan bangsa dan kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Maka, pelajaran berharga dari kedua episode sejarah ini adalah pentingnya menemukan keseimbangan yang sehat antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR tidak boleh menjadi sekadar stempel bagi kebijakan pemerintah, namun juga tidak boleh menjadi penghambat yang tidak produktif.

Kedua lembaga ini harus dapat bekerja secara sinergis, saling mengawasi dan mendukung, demi terwujudnya pemerintahan yang efektif, bersih, dan melayani rakyat.

Harapan Soekarno dan Gus Dur, meski dengan cara yang kontroversial, sejatinya adalah aspirasi untuk memiliki lembaga-lembaga negara yang benar-benar berdaya guna dalam membangun Indonesia yang lebih baik. ●Diambil dari tulisan Suyatno Abu Bakar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *