2025-09-25 11:08

Puluhan Tahun Terendam Air Warga Kampung Apung Tolak Bayar PBB, Tuntut Pemprov Konsisten

Share

FOTO: Makam di Kampung Apung ketika kering musim kemarau belum dipindahkan

HARIAN PELITA — Warga RT010/01 Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng, Jakarta Barat dijuluki Kampung Apung menolak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena puluhan tahun rumahnya terendam air dan ketidakpedulian pemerintah terhadap warga.

“Pemerintah harus bertanggung jawab secara duniawi dan ukhrowi (akhirat). Karena menetelantaran kampung yang menderita akibat korban kebijakan pemerintah yang salah,”
kata satu tokoh warga Kampung Apung H Djuhri, Rabu  (24/9/2025) kepada HarianPelita.id.

Menurut  Djuhri, kondisi pemukiman ini  makin menyesengsarakan warga karena
kebijaksanaan Pemerintah yang salah, seperti lingkungan yang semula sawah, empang sebagai ruang terbuka hijau berubah menjadi bangunan pabrik dan pergudangan.

“Yang semula irigasi diuruk, air tidak mengalir, menjadi banjir
permanen,” ujar Djuhri.

3.800 makam tenggelam
Kampung Apung seluas 4 hektar terdiri dari 2 hektare merupakan permukiman yang letaknya lebih rendah dan 2 hektare lagi dijadikan Tempat Pemakaman
Umum (TPU BulaK Teko) karena letaknya lebih tinggi.

H Djuhri merupakan
warga yang tinggal turun temurun dari kakek nenek, orangtuanya, sampai dimakamkan di wilayah itu sejak tahun 1990. Warga yang akan ziarah ke
makam terpaksa menabur dari dataran yang lebih tinggi karena ke makam keluarganya tidak terlihat dikedalaman dua meter.

Sebelumnya Wali Kota Jakarta Barat menjanjikan akan memindahkan kerangka jenazah ke TPU yang layak di Tegal Alur dan sudah didata ahli warisnya
dianggarkan mendapat Rp3 miliar sampai Rp9 miliar. Namun hingga saat ini tidak ada kelanjutannya tidak pernah terdengar lagi.

Kerangka jenazah di TPU Bulak Teko adalah legal, dikenakan bayar retribusi.
“Wajibnya Wali Kota Jakarta Barat memberikan pelayanan penggantian tempat pemakaman untuk kerangka jenazah tersebut,” tambah Djuhri.

●Dikenakan denda PBB
Ironis bagi warga Kampung Apung meskipun pemukimannya sudah dilanda kebanjiran permanen namun harus diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunannya (PBB). Bahkan jika terlambat membayar dikenakan sanksi denda.

”Banjir dari tahun 1990, tapi pemerintah mengenakan warga harus membayar tahun 2000 dan yang nunggak dikenakan sanksi denda,” tegas H Djuhri.

Djuhri mencontohkan PBB atas nama orang tuanya Yahaya Kalong terhitung pajak bumi dan bangunannya dari tahun 2000 sampai tahun 2024, terhutang Rp221.988.374 dan harus bayar sebesar
Rp246.299.271.

“Saya tidak tahu hati Nurani aparat sudah dilanda kebanjiran rumah hancur suruh bayar denda lagi,” tanya H Djuhri.

Balita tewas
H Djuhri menambahkan sejak Kampung Bulak Teko berubah menjadi
Kampung Apung, sudah dua balita tenggelam meninggal dunia. Perkampungan yang dikepung air
bah ini, selain warga yang tinggal juga dipadati 3.800 makam tenggelam,
lingkungannya memprihatinkan, aromanya tak sedap, banyak belatung, kalajengking, ular, lalat. Kini makin mengerikan, biawak berukuran besar kerap memasuki rumah warga.

Janji Omdo
Selama 35 tahun Kampung Apung tengelam, kampung ini ada dikunjungi, terutama menjelang Pilkada atau Pemilu hanya untuk mendulang suara.

”Dari dibuatkan pompa untuk mengeringkan banjir senilai puluhan miliar rupiah, tidak berfungsi, pemindahan kerangka jenazah juga tidak terlaksana. Kami sangat bersyukur apabila ada anggota dewan, pejabat atau aparat Pemerintah yang bersedia
bermalam di Kampung Apung agar bisa menikmati alami kampung apung yang sebenarnya,” ujar H Djuhri. Menurut H Djuhri, janji, iming-iming hanya Omong Doang (omdo).

Djuhri mengambil contoh seperti, Kampung Apung akan dikeringkan dikembalikan seperti semula dengan dibangun dua rumah pompa air senilai
puluhan miliar rupiah.

Tapi kenyataannya, tidak berfungsi kemudian Pemprov DKI Jakarta berjanji akan memindahkan 3.800 kerangka jenazah yang tenggelam sudah 35 tahun akan dipindahkan ke TPU selayaknya sebagai penghormatan terakhir,
ternyata hanya isapan jempol.

Sehingga Warga yang akan takziah ke makam keluarganya terpaksa hanya
menaburkan bunga dari atas air, lebih menyedihkanlagi, TPU ini dianggap TPU liar, dan selain itu di lokasi tersebut lampu PJU tidak berfungsi. Alasanya dari
aparat bahwa anggaran PJU tidak ada padahal setiap membayar listrik PLN sudah termasuk biaya untuk PJU. ●Redaksi/Owy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *