
Wacana Pembentukan DPRD Tingkat II di DKI Butuh Kajian
HARIAN PELITA — Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino menilai, wacana pembentukan DPRD tingkat II perlu dikaji secara mendalam. Tidak boleh menjadi keputusan politis semata.
Ia menegaskan, keberadaan lembaga tersebut harus benar-benar berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Hal itu ia ungkap usai diskusi publik yang bertema Penataan Daerah Pemilihan (Dapil) dan Alokasi Kursi DPRD DKI Jakarta.
“Kalau ternyata itu adalah suatu kebutuhan, why not? Tapi pertanyaan, apakah itu kebutuhan? Hitung-hitungannya seperti apa?,” ujar Wibi, Rabu (8/10/2025).
Politisi Partai NasDem itu mengatakan, kajian yang komprehensif sangat penting sebelum menambah struktur lembaga legislatif baru.
Setiap rencana pembentukan DPRD tingkat II, sambung Wibi, perlu memperhatikan berbagai indikator kebutuhan masyarakat.
“Kita jangan malas dalam melakukan satu crossing indicator kebutuhan daripada masyarakat. Kita harus melibatkan partisipasi masyarakat,” ucap Wibi.
Menurut dia, partisipasi publik menjadi kunci utama agar kebijakan tersebut. Tidak menambah beban birokrasi tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
“Masyarakat butuhnya apa dengan hadirnya sosok-sosok anggota dewan? ketika bertambah kursi, apakah itu memang benar-benar kebutuhan masyarakat?,” ucap Wibi.
Ia juga mengingatkan, masih banyak warga yang belum sepenuhnya memahami peran dan fungsi anggota dewan. Karena itu, perlu evaluasi terhadap efektivitas lembaga legislatif terlebih dahulu.
Peneliti Pusat Studi Partai Politik dan Pemilu (PSP3) Universitas Muhammadiyah Jakarta Sumarno menilai, wacana pembentukan DPRD tingkat II adalah hal yang sah.
Selama tidak menyalahi aturan berlaku. “Gagasan DPRD di tingkat kabupaten kota dan sebagainya bisa saja berkembang. Sah-sah saja. Apalagi di dalam politik,” ungkap dia.
“Politik itu tidak ada yang baku. Jadi boleh-boleh saja sepanjang tidak menafikan hukum positif yang sudah berlaku,” tandas Sumarno.
Ketua KPU DKI Jakarta Wahyu Dinata menegaskan, penentuan jumlah kursi DPRD akan kembali mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Data Agregat Kependudukan (DAK) 2 yang digunakan pada Pemilu 2024.
Meski demikian, sebut Wahyu, terdapat peluang perubahan lewat revisi UU Pemilu. “Kita lihat nanti revisinya seperti apa. Kalau tidak ada perubahan, otomatis kembali ke undang-undang lama,” pungkas Wahyu. ●Redaksi/Cr-23