
Festival Film Wartawan 2025 Tegaskan Komitmen Cegah Film Jadi Sampah Budaya
HARIAN PELITA — Festival Film Wartawan (FFW) 2025 kembali menegaskan komitmennya untuk menjadikan estetika sebagai tolok ukur utama dalam penilaian film.
Upaya ini menjadi langkah nyata agar film Indonesia tidak terjebak menjadi “sampah budaya” akibat dominasi orientasi komersial semata.
Hal tersebut disampaikan oleh Akhlis Suryapati, salah satu Juri Akhir FFW 2025, dalam sesi penjurian di Bioskop Kine Klub, Lantai Dua Gedung Film, Jakarta, Jumat (17/10/2025).
“Jika film melulu diberlakukan sebagai komoditas industri komersial, maka produk kreatif yang tumbuh hanya akan berorientasi pada selera pasar dan keuntungan semata. Akibatnya, film tidak lagi menjadi karya cipta budaya, melainkan berubah menjadi sampah-sampah kebudayaan,” ujar Akhlis Suryapati.
Dalam ajang FFW 2025, Akhlis Suryapati bergabung bersama empat juri akhir lainnya, yaitu Nurman Hakim, Lola Amaria, Adisurya Abdy, dan Firman Bintang. Mereka menilai film-film terpilih berdasarkan hasil penjurian tahap awal yang telah dilakukan oleh 21 wartawan film.
●Tradisi panjang Festival Film Wartawan
Festival Film Wartawan (FFW) merupakan perhelatan tahunan yang diselenggarakan oleh kalangan jurnalis film Indonesia. Ajang ini merupakan kelanjutan tradisi sejak 1973, saat pertama kali diadakan oleh PWI Jaya dengan nama Pemilihan Best Actor & Actress.
Penjurian FFW 2025 dijadwalkan berlangsung hingga akhir Oktober dengan metode nonton bareng di bioskop disertai pembahasan mendalam terhadap unsur-unsur film yang akan dinilai.
Tahun ini, FFW membagi penilaian film dalam tiga genre utama, yaitu drama, komedi, dan horor, dengan simbol penghargaan Piala Gunungan. Selain itu, dewan juri juga akan menganugerahkan Anugerah Spesial Dewan Juri yang menitikberatkan pada Capaian Estetika Film Indonesia sebagai barometer prestasi.
“Estetika memang tidak pernah final dan selalu terbuka terhadap interpretasi. Namun, seperti halnya dunia medis, kita memerlukan barometer untuk mengukur kesehatan sebuah karya film — apakah sedang normal, menurun, atau bahkan berpotensi menjadi sampah budaya,” tambah Akhlis Suryapati. ●Redaksi/Satria