Alamak Coretax: Kalau Ada 9 Nyawa, Habis Sama Coretax Saja Semuanya || Oleh Dody dan Muhamad Alfin
KONON, manusia hanya diberi satu nyawa. Setelah mencoba bertahan hidup bersama Coretax, wajib pajak mulai merasa Tuhan sedang menguji apakah satu nyawa benar-benar cukup. Setiap fitur seolah memanggil: “Berani lanjut, atau nyerah sekarang?”.
Diluncurkan sejak 1 Januari 2025 dengan anggaran sebesar 1,3 Triliun Rupiah, Coretax dirancang untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada saat ini dengan mengintegrasikan seluruh proses administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.
Namun, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri sempat mengakui, sistem ini telah mencatat 397 kasus error pada awal tahun 2025 lalu.
Kasus error tersebut memberi gambaran jelas bahwa beban kepatuhan tidak hanya ditentukan oleh aturan pajak, tetapi juga oleh performa sistem yang digunakan untuk menjalankannya.
Ketika wajib pajak harus mengulang login, kehilangan progres akibat time out, atau menunggu lama hingga halaman kembali merespons, Time Cost yang otomatis meningkat.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Mehmet Nar (2023) menunjukkan bahwa kompleksitas sistem pajak dan regulasi dapat meningkatkan time cost hingga 30% – 40%.
Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi bayangan nyata tentang bagaimana sebuah sistem yang rumit dan tidak stabil dapat menghabiskan waktu lebih lama.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyorot beberapa masalah rumit platform pelaporan pajak Coretax yang banyak menjadi keluhan masyarakat Indonesia.
Masalah yang disoroti merupakan masalah yang lebih dalam daripada sekadar error teknis biasa. Purbaya menyebutkan “error artinya masih belum sempurna.
Tapi kalau kita lihat, jadi ada beberapa layer, yang di upper layer ya, itu beberapa efek seperti sering time out, tidak bisa login, setelah login tidak bisa melanjutkan pekerjaan, karena di dalamnya terjadi time out.”.
Perbaikan Coretax yang direncanakan akan dilakukan dalam waktu satu bulan dengan melibatkan tenaga ahli teknologi informasi (IT) dari luar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ternyata tidak bisa terealisasi secepatnya, karena terdapat sejumlah persoalan rumit terkait sistem perpajakannya.
Masalah rumit yang disebutkan, seperti tidak bisanya pemerintah mengakses software buatan kontraktor asal Korea Selatan yaitu LG, karena masih adanya kontrak yang belum berakhir menyebabkan pemerintah tidak bisa mengakses.
Bahkan, Purbaya menjelaskan pihak LG tidak responsif terhadap permintaan pemerintah untuk mengatasi masalah error di Coretax yang membuat Purbaya telah berencana untuk memutuskan kontrak dengan pihak LG agar tidak lagi ketergantungan dengan pihak asing.
Kemudian, user sering gagal akses merupakan masalah sistem yang membuat proses pelaporan perpajakan menjadi lebih lama. Persoalan ini terlihat ketika mengakses Coretax, pengguna kerap menemukan pesan berwarna merah yang menampilkan tulisan ‘Error’ yang sebenarnya dijelaskan oleh Purbaya bahwa itu merupakan proses masih berjalan, tetapi sistem yang tidak optimal tersebut menunjukkan bahwa sedang terjadi error.
Selain itu, keamanan siber yang lemah ditunjukkan dengan adanya data Coretax yang dijual. Meskipun kini sistem keamanan siber telah diperbaiki yang dirancang sudah memiliki tingkat keamanan data yang nyaris mencapai 100% diterangkan oleh Purbaya.
Kritik Menteri Keuangan terkait kendala sistem Coretax, membuat banyak pihak menyoroti bahwa persoalan waktu menjadi aspek yang paling mempengaruhi efektivitas Coretax.
Sistem yang belum optimal tidak hanya berdampak pada kenyamanan pengguna tetapi juga waktu yang terbuang sia-sia. Hal ini tentunya berpotensi meningkatkan biaya kepatuhan dan biaya operasional, yang lebih lanjut memunculkan pertanyaan publik sejauh mana Coretax benar-benar dapat mendukung efisiensi administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak?.
Menurut Arif Yurianto (2024), “Coretax akan mengurangi tax compliance cost (biaya kepatuhan pajak) karena merupakan sebuah sistem yang diharapkan bisa mengotomasi dan mendigitalisasi layanan perpajakan.”
Namun dalam praktiknya, pengguna masih sering menghadapi sistem error dan login yang tidak stabil. Kondisi ini membuat wajib pajak lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal teknis seperti me-referesh halaman, mencoba masuk kembali, atau mengulang proses unggah dokumen karena sistem tidak merespons.
Menurut Cedric Sanford (1973), time cost (waktu) merupakan salah satu biaya yang mempengaruhi biaya kepatuhan.
Time cost merupakan intangible cost (biaya tak berwujud). Pengukurannya tidak dapat diukur menggunakan nominal, tetapi hilangnya kesempatan yang mungkin bisa digunakan untuk kegiatan lain. Waktu disini digunakan wajib pajak untuk melakukan pemenuhan dan kewajiban perpajakan.
Sistem yang terintegrasi yang secara nyata seharusnya mampu menurunkan time cost. Tetapi, pengguna melaporkan bahwa fitur sebelum Coretax lebih baik dibandingkan dengan Coretax, seperti fitur unggahan faktur pajak masukan, belum berjalan seefisien yang diharapkan karena sistem hanya dapat mengunggah secara satu per satu.
Tentunya bagi wajib pajak dengan jumlah transaksi yang besar, kondisi ini membuat proses yang seharusnya menjadi lebih cepat menjadi jauh lebih memakan waktu.
Meskipun integrasi sistem Coretax juga telah banyak membantu wajib pajak dalam mempercepat proses administrasi perpajakan, gangguan teknis yang masih muncul justru menciptakan beban baru bagi wajib pajak.
Waktu yang seharusnya bisa dihemat malah terbuang untuk mengulangi sistem yang error. Kondisi ini, pada akhirnya meningkatkan time cost yang kemudian berkontribusi pada naiknya biaya kepatuhan.
Gangguan teknis yang terus berulang tidak hanya memakan waktu pelaporan perpajakan wajib pajak, tetapi juga semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap Coretax, terutama setelah berbagai keluhan muncul di media sosial.
Kondisi mengenai akses yang tidak konsisten akan membuat Coretax sepenuhnya dan pada akhirnya menunda tujuan efisiensi waktu serta penurunan biaya kepatuhan yang diharapkan dari sistem terintegrasi Coretax.
Walaupun Purbaya menjanjikan permasalahan Coretax akan rampung pada Februari 2026 mendatang. Pemerintah tetap perlu mempercepat perbaikan sistem dengan tujuan meningkatkan kepercayaan dan waktu wajib pajak tidak terus terbuang akibat ketidakstabilan sistem yang masih terjadi.
Di tengah berbagai keluhan mengenai masalah rumit sistem Coretax dan proses pelaporan yang memakan waktu, pertanyaan pun muncul, apakah Coretax benar-benar mampu menghemat waktu wajib pajak seperti yang dijanjikan? atau malah wajib pajak waktunya habis sama Coretax semuanya.
Kondisi tersebut, wajar jika publik mempertanyakan kembali sejauh mana efisiensinya. Namun, sebenarnya Coretax telah menunjukkan berbagai kemajuan yang memiliki arah pengembangan yang positif.
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pemicu agar evaluasi dan percepatan perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak banyak habis waktunya dalam proses pelaporan pajak.
Pada akhirnya, efektivitas Coretax dalam menurunkan biaya kepatuhan sangat ditentukan oleh waktu dan sistem yang digunakan wajib pajak dalam proses pelaporan pajak.
Coretax dasarnya sistem yang sudah terintegrasi dan membantu wajib pajak lebih cepat dalam proses pelaporannya, tetapi hambatan teknis yang muncul dan tak kunjung optimal, sebagian pengguna merasa bahwa “punya sembilan nyawa pun habis dilahap error sistem Coretax” ketika beban waktu kian bertambah.
Sorotan Menteri Keuangan Purbaya juga menegaskan bahwa persoalan ini harus cepat dibenahi, karena dampaknya pada biaya kepatuhan dan tingkat kepercayaan publik. Dengan percepatan dan perbaikan konsistensi layanan, Coretax memiliki peluang besar untuk memenuhi sistem Coretax yang seharusnya dan wajib pajak tidak habis waktunya dengan Coretax saja.
●Penulis Terafiliasi dengan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
