Kisah Gadis Mona Dibunuh Demi Kehormatan Tanpa Perlindungan Hukum dan Sosial
HARIAN PELITA — Mona Heydari lahir pada 24 Desember 2004 di Ahvaz, sebuah kota besar di provinsi Khuzestan, Iran selatan. Usianya baru menginjak belasan tahun ketika hidupnya berubah selamanya.
Pada umur sekitar 12 tahun, ia dinikahkan dengan sepupunya sendiri, Sajjad Heydari. Pengadilan setempat memberi persetujuan, seperti halnya banyak kasus perkawinan anak lain di wilayah tersebut.
Dalam hitungan waktu yang pendek, Mona sudah harus menjalani peran sebagai istri, lalu menjadi ibu saat masih remaja sekitar 14 tahun. Tubuhnya masih bertumbuh, tetapi hidup memaksanya dewasa jauh lebih cepat dari semestinya.
Praktik perkawinan anak yang masih terjadi di sebagian Iran membuat anak perempuan seperti Mona berada dalam posisi yang sangat rentan, tanpa perlindungan hukum maupun sosial.
●Kekerasan yang mengurungnya
Pernikahan Mona tidak pernah menjadi tempat aman. Menurut laporan dari keluarga dan organisasi HAM, ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga sejak awal pernikahan.
Hubungan yang tidak setara, perbedaan usia, dan posisi sosial membuat Mona tidak memiliki kuasa untuk menolak atau melawan. Dalam keputusasaan, Mona memutuskan kabur ke Turki bersama anaknya
Keberaniannya menyelamatkan diri menunjukkan satu hal: ia ingin hidup yang bebas dari kekerasan. Namun pelarian itu tidak berlangsung lama. Keluarganya mendesak agar ia pulang, meyakinkannya bahwa ia akan aman jika kembali. Mona akhirnya menyerah pada bujukan itu.
Kepulangannya ke rumah bukanlah perlindungan itu menjadi awal tragedi yang lebih besar. Sistem sosial dan hukum di sekelilingnya tidak pernah benar-benar memberi ruang bagi perempuan muda seperti Mona untuk melarikan diri dari pernikahan yang menindas.
●5 Februari 2022: Hari ketika dunia terkejut
Pagi itu di Ahvaz, peristiwa yang tak terbayangkan terjadi. Sajjad Heydari, suami Mona, bersama saudara laki-lakinya, melakukan pembunuhan brutal: Mona dipenggal di dalam rumah. Setelah itu, mereka melanjutkan tindakan yang lebih mengerikan.
Sajjad berjalan di jalanan kota sambil mengangkat kepala Mona, memegang pisau di tangan lain, seolah ingin memastikan seluruh dunia melihat “hasil perbuatannya.” Video dan foto peristiwa itu tersebar luas, memicu kemarahan dari seluruh dunia.
Tubuh Mona dibuang di lokasi terpisah. Kepalanya dibawa pelaku ke ruang publik seperti trofi yang dipamerkan.
Motif yang dikemukakan kemudian adalah “pembersihan kehormatan keluarga” honour killing. Pelaku mengklaim bahwa Mona telah “mencoreng kehormatan” karena kabur ke Turki dan disebut-sebut menjalin hubungan dengan pria lain. Namun tuduhan itu tidak pernah diperiksa secara hukum atau diverifikasi. Pembunuhan itu bukan reaksi spontan; itu eksekusi yang direncanakan.
●Penangkapan dan reaksi hukum
Tidak lama setelah video itu viral, polisi Iran menangkap Sajjad Heydari dan saudara laki-lakinya. Pemerintah Iran juga menutup media lokal Rokna News Agency karena menayangkan gambar pelaku membawa kepala Mona. Otoritas menyebutnya “melanggar kesusilaan publik,” meski yang jauh lebih melanggar moral adalah pembunuhan itu sendiri.
Dalam sistem hukum Iran, pembunuhan seperti ini seharusnya dihukum berat sebagai tindak pidana. Namun celah hukum mengenai zina, konsep balasan qisas, serta fakta bahwa pembunuh adalah anggota keluarga sering membuat hukuman terhadap pelaku “honour killing” menjadi ringan. Banyak keluarga “memaafkan” pelaku karena tekanan sosial dan budaya. Dalam banyak kasus, impunitas hampir menjadi pola.
Tragedi Mona memperlihatkan betapa lemahnya perlindungan bagi perempuan, terutama bagi mereka yang menikah muda dan tidak punya akses untuk keluar dari situasi kekerasan.
●Dunia bereaksi
Kasus Mona memicu gelombang kemarahan besar di Iran dan luar negeri. Aktivis HAM, organisasi internasional, dan publik menyerukan pembaruan hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis kehormatan dan menghentikan praktik perkawinan anak.
Media internasional mengangkat kasus ini sebagai gambaran ekstrem bagaimana kekerasan berbasis gender dilegitimasi oleh tradisi, budaya patriarkal, dan celah hukum.
Diskusi publik di Iran melonjak: banyak yang menyebut bahwa tragedi ini bukan masalah pribadi, melainkan masalah struktural. “Gheirat” konsep kehormatan patriarkal sering menjadi pembenar kekerasan terhadap perempuan. Analisis akademik menyebut adanya fenomena “legal himpathy” kecenderungan masyarakat dan aparat untuk bersimpati kepada pelaku laki-laki, bukan korban perempuan.
●Luka lebih besar dari satu kematian
Kisah Mona Heydari adalah tragedi yang mencuat ke permukaan, tetapi di provinsi Khuzestan saja, aktivis mencatat puluhan kasus “honour killing,” banyak di antaranya menimpa perempuan di bawah usia 15 tahun.
Kematian Mona membuka mata dunia terhadap siklus yang merusak:
• Perkawinan Anak
• Kekerasan domestik yang tidak pernah ditindak,
• tekanan budaya
• Stigma Sosial
• Serta celah hukum yang membiarkan pelaku pergi dengan hukuman ringan.
Mona adalah korban dari rangkaian kegagalan keluarga, lingkungan sosial, negara, dan hukum. Ia ingin hidupnya kembali. Ia mencoba melarikan diri. Namun sistem yang seharusnya melindungi justru membuatnya tak punya pilihan selain kembali ke tempat yang akhirnya mengambil nyawanya.
●Warisan tragis dan pelajaran penting
Kematian Mona bukan hanya sebuah kejahatan, tetapi juga pengingat tentang bahaya ketika budaya patriarki, kekerasan, dan hukum yang lemah saling bertemu. Di mata banyak aktivis dan pengamat HAM, Mona menjadi simbol perempuan yang terjebak dalam struktur yang tak memberi mereka kesempatan untuk hidup dengan aman dan bermartabat.
Selama akar masalah tidak dibenahi selama hukum tidak melindungi, dan budaya masih menganggap perempuan sebagai penjaga kehormatan keluarga kasus seperti Mona bukan yang pertama, dan tidak akan menjadi yang terakhir.
Cerita Mona adalah luka yang menyisakan pertanyaan besar bagi semua masyarakat: sejauh apa kita siap melindungi perempuan dari kekerasan yang memakai nama “kehormatan”?. ●Redaksi/Fakta/05
