2025-12-12 14:51

Satya Bumi Beberkan Bukti Dugaan Pemicu Banjir Bandang di Tapanuli

Share

HARIAN PELITA — Satya Bumi mengapresiasi keputusan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang telah memerintahkan penghentian sementara operasi tiga perusahaan di kawasan hulu Batangtoru, termasuk sektor pertambangan, perkebunan, dan PLTA untuk menjalani audit lingkungan menyeluruh.

Ketiga perusahaan itu yakni, PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengembang PLTA Batangtoru. Kendati demikian, langkah itu tidaklah cukup. Satya Bumi telah memantau ekosistem Batangtoru dan kegiatan sejak tahun 2022.

“Berdasarkan hasil investigasi panjang ini, kami menilai pencabutan izin sementara tidak cukup. Hal ini dikarenakan dampak lingkungan dan sosial yang telah terjadi sepadannya diganjar dengan pencabutan izin permanen. Pasal 48 Permen LHK 14/2024 menyatakan bahwa pencabutan izin usaha diterapkan terhadap kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan,” jelas Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidattihayaa Afra, Jum’at (12/12/2025).

Dalam pantauan citra satelit yang dilakukan Satya Bumi menemukan adanya jejak gelondongan kayu yang dibiarkan di sepanjang sempadan sungai Batang Toru, dimana proyek PLTA milik PT NSHE berdiri. Kami menduga kuat, kayu-kayu tersebut yang terbawa sampai ke hilir DAS Batangtoru sebagaimana yang diperlihatkan video-video yang tersebar di media sosial.

Sejak PT NSHE mulai membuka hutan pada tahun 2017, total deforestasi sampai 2024 mencapai 535,25 hektar. Pembangunan infrastruktur PLTA di sekitar sempadan sungai ini dinilai sangat berisiko, terutama karena area hutan yang telah dibuka berada pada daerah dengan kemiringan curam dan rawan longsor.

Kekhawatiran ini diperburuk oleh fakta bahwa seluruh ekosistem Batang Toru berada di sepanjang Patahan Sumatera yang merupakan zona rawan gempa. Selain itu, meskipun proyek telah memperoleh izin lingkungan (sebelum 2018), izin tersebut kontroversial karena pembangunan dilakukan di kawasan dengan kepadatan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Hal ini diperkuat dengan penemuan bayi Orangutan Tapanuli yang mati di area sekitar proyek PLTA pada Agustus 2024 lalu. Pembangunan proyek PLTA Batang Toru telah menimbulkan dampak ekologis yang parah, terutama bagi konservasi orangutan Tapanuli. Sebelum pembukaan hutan untuk proyek, populasi individu orangutan Tapanuli di blok barat dan blok timur secara alami terhubung melalui kanopi pohon yang utuh di sepanjang sempadan sungai.

Sungai seringkali menjadi batas alami, dan pohon di tepi sungai adalah satu-satunya jembatan yang memungkinkan pergerakan individu antar blok populasi.
Koridor alami ini, bersama dengan konektivitas ke populasi kecil di Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Dolok Sipirok, sangat penting untuk menjaga pertukaran genetik yang sehat.

Namun, deforestasi besar-besaran di sepanjang bibir sungai telah memutus koneksi vital tersebut, mengakibatkan populasi Orangutan Tapanuli di blok barat dan blok timur menjadi terpisah dan terisolasi secara genetik. Pembangunan infrastruktur PLTA Batang Toru, yang dirancang untuk beroperasi dalam jangka panjang, dilakukan di tengah risiko geologis dan hidrologis yang sangat tinggi, mencerminkan kegagalan total dalam mitigasi risiko lingkungan.

Fakta bahwa Power House PLTA tersebut kini mengalami kerusakan akibat banjir dan menunda jadwal operasi padahal direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2025, merupakan bukti nyata bahwa risiko yang diabaikan telah termanifestasi menjadi kerugian operasional dan finansial.

“Aktivitas proyek di sekitar sempadan sungai di Batang Toru merupakan bencana ekologis yang menunggu waktu. Ini adalah contoh di mana profit jangka pendek dipertaruhkan dengan keselamatan publik, fungsi hidrologis, dan kelangsungan hidup spesies kunci,” ujar Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi.

Agincourt Turut Memicu Longsor
Disaat yang sama, operasi tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources yang telah melakukan ekspansi hingga 603,21 hektar juga diduga memperburuk kondisi lingkungan. Tambang beroperasi di area curam dan berada lebih tinggi dari pemukiman, sehingga potensi dampak longsor terhadap pemukiman warga semakin besar.

Pernyataan PT Agincourt Resources yang membantah keterlibatan mereka dalam penyumbatan Sungai Aek Garoga memunculkan pertanyaan besar, terutama karena area banjir di Desa Garoga masih berada dalam konsesi mereka.

“Bantahan tersebut sulit diterima, mengingat PT Agincourt Resources selama ini melakukan kegiatan konservasi di Sungai Garoga dan Sungai Aek Ngadol. Pertanyaannya, mengapa mereka perlu melakukan konservasi di sungai tersebut jika saat bencana terjadi mereka menyatakan tidak memiliki keterlibatan?,” terang Riezcy.

Temuan Satya Bumi, terdapat bukaan lahan di atas konsesi PT Agincourt Resources yang diduga terlibat sebagai pemicu banjir bandang dan longsor di Desa Garoga. Limpasan air dari bukaan tersebut terlihat mengalir ke anak sungai Garoga yang bermuara ke sejumlah titik banjir terparah yakni di Desa Garoga, Aek Ngadol dan Huta Godang.

“Hasil informasi yang kami kumpulkan memperlihatkan bukaan ini dilakukan oleh PT Sago Nauli di dalam peta konsesi PT Agincourt Resources. Tidak ada informasi terbuka yang mengindikasikan adanya peralihan perizinan antara Agincourt dan Sago Nauli, dan apakah terdapat peralihan tanggung jawab di antara keduanya,” ungkapnya.

Kendati demikian, jika memang belum terdapat peralihan izin, maka Agincourt tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas deforestasi yang terjadi. Namun jika telah terdapat peralihan izin, maka Menteri Hanif harus jeli untuk tidak luput mencabut izin PT Sago Nauli.

Bukaan lahan disebelah atas (utara) dari bukaan tambang PT Agincourt Resources yang diduga kuat milik PT Sago Nauli, perusahaan perkebunan sawit. Agincourt juga tidak membantah keterkaitannya dengan banjir yang terjadi di daerah hilir Sungai Batang Toru. Secara hidrologis, area tambang yang telah dibuka masuk dalam dua DAS sekaligus DAS Batangtoru dan DAS Nabirong.

Walaupun perusahaan menolak dikaitkan dengan Sungai Aek Garoga di DAS Nabirong, mereka belum memberi penjelasan mengenai dampak pembukaan hutan terhadap Sungai Batang Toru. Pantauan citra satelit yang dilakukan Satya Bumi menemukan diduga jejak aliran banjir dan longsor dari tailing konsesi Agincourt yang meluber ke anak sungai Batangtoru.

Anak-anak sungai di dekat area tambang Martabe yang masih berada dalam DAS Batangtoru mengalir dan bermuara ke sungai Batangtoru. Melihat masifnya kerusakan yang dilakukan oleh pebisnis, termasuk diantaranya telah menghilangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada iklim hutan tropis basah.

Dan pada hulu sungai serta daerah aliran sungai (DAS) Nabirong dan Batangtoru, banyak pihak memperkirakan butuh puluhan tahun untuk mengembalikan fungsi lingkungan di Batangtoru. Karena itu, setiap industri yang beroperasi di dalam dan sekitar ekosistem Batang Toru harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.

“Hal ini memperlihatkan tidak perlu lagi ada ruang negosiasi sanksi bagi perusahaan. Tindakan tegas Menteri Hanif bukan pilihan melainkan keharusan. Peringatan yang diberikan oleh masyarakat sipil sejak tahun 2022 dihiraukan perusahaan-perusahaan di Batangtoru hingga kejadian malang menimpa manusia, orangutan, gajah, dan penduduk lain dari bioma ini,” tegas Hayaa.

Bencana banjir dan longsor yang baru terjadi dan menelan korban hampir seribu jiwa di Sumatera mempertegas bahwa kerusakan lingkungan, terutama deforestasi dan konversi hutan, bukan lagi masalah masa depan, melainkan ancaman nyata saat ini.

“Kami mengajak semua pihak, pemerintah, regulator, masyarakat sipil, pemangku kepentingan lokal, dan perusahaan untuk mendukung penuh proses audit lingkungan, penegakan hukum atas setiap pelanggaran izin lingkungan, dan penghentian permanen terhadap kegiatan yang terbukti merusak ekosistem sensitif seperti Batangtoru,” katanya.

Pihaknya juga menyerukan agar data hasil audit serta proses pemeriksaan dibuat transparan dan dapat diakses publik, termasuk bukti lahan yang ditebang, peta alih fungsi hutan, serta analisis dampak hidrologis terhadap sungai dan daerah penyangga.

“Terakhir, kami menyatakan solidaritas terhadap komunitas terdampak, dan mendesak agar keselamatan warga serta kelestarian lingkungan diprioritaskan di atas profit jangka pendek,” tandanya. ●Redaksi/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *