2025-12-18 8:47

Deontologi Media di Era Disrupsi Digital: Tantangan Etis dalam Konteks Indonesia || Catatan Bagus Sudarmanto

Share

DISRUPSI DIGITAL telah mengubah lanskap media Indonesia secara drastis. Perkembangan media sosial, platform berbasis algoritma, serta attention economy (ekonomi perhatian) tidak hanya memengaruhi model bisnis media, tetapi juga menggeser praktik dan etika jurnalistik. 

Dalam situasi ini, deontologi media — sebagai sebuah etika berbasis kewajiban dan norma profesi — menjadi semakin relevan sebagai fondasi moral untuk menjaga fungsi pers dalam demokrasi.

Secara filosofis, deontologi berakar pada pemikiran Immanuel Kant, yang menekankan bahwa tindakan moral harus dilakukan berdasarkan kewajiban, bukan semata-mata pada konsekuensi atau manfaatnya (Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 1997).

Dalam konteks media, pendekatan ini tercermin dalam Kode Etik Jurnalistik Indonesia, yang menegaskan kewajiban jurnalis untuk bersikap independen, akurat, berimbang, dan tidak mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi (Dewan Pers, 2006).

Namun, di era disrupsi, kewajiban etis ini berhadapan dengan realitas ekosistem digital Indonesia yang sangat kompetitif dan berorientasi viral. 

Fenomena “No Viral, No Justice” misalnya, menunjukkan bagaimana perhatian publik di media sosial sering kali menjadi prasyarat agar suatu kasus mendapatkan respons institusional. 

Dalam banyak kasus, mulai dari kekerasan aparat, kriminalisasi warga, hingga ketimpangan hukum, media arus utama terdorong untuk mengikuti arus viral agar tetap relevan di mata publik.

Dalam perspektif deontologi media, kondisi ini menghadirkan dilema serius. McQuail (2010) menegaskan bahwa tanggung jawab utama media bukanlah sekadar memantulkan opini publik, melainkan menyediakan informasi yang terverifikasi, kontekstual, dan proporsional.

Ketika media terlalu tunduk pada logika viralitas, kewajiban ini berisiko tergeser oleh sensasionalisme, judul provokatif, dan simplifikasi persoalan hukum yang kompleks, sebuah praktik yang kerap terlihat dalam pemberitaan kasus kriminal viral di Indonesia.

Lebih jauh, disrupsi digital juga memunculkan aktor non-jurnalistik seperti buzzer politik, influencer, dan akun anonim, yang secara aktif membentuk agenda wacana publik. 

Dalam banyak momentum politik dan penegakan hukum, media Indonesia berada di bawah tekanan untuk mengamplifikasi narasi yang telah viral, meskipun belum sepenuhnya diverifikasi. 
Padahal, dalam kerangka deontologis, verifikasi adalah kewajiban moral, bukan pilihan strategis (Ward, 2015).

Fenomena ini memperlihatkan apa yang oleh Habermas (1989) sebut sebagai distorsi ruang publik, di mana rasionalitas komunikatif tergantikan oleh emosi, polarisasi, dan kepentingan strategis. 

Dalam konteks Indonesia, distorsi tersebut semakin kuat karena rendahnya literasi media dan tingginya ketergantungan publik pada platform digital sebagai sumber informasi utama. 

Media, dalam posisi ini, menghadapi ujian:  Apakah akan menjadi penjernih wacana atau sekadar penguat kebisingan digital?
Deontologi media juga diuji dalam relasi antara jurnalisme dan aktivisme. 

Di satu sisi, sejarah pers Indonesia menunjukkan bahwa keberpihakan pada korban dan kelompok rentan merupakan bagian dari etos moral jurnalisme. 

Namun di sisi lain, Kode Etik Jurnalistik menegaskan kewajiban menjaga independensi dan jarak kritis.

Era disrupsi kerap mendorong media untuk mengambil posisi emosional demi resonansi publik, yang tanpa refleksi etis dapat berujung pada trial by media dan pelanggaran asas praduga tak bersalah.

Oleh karena itu, deontologi media di Indonesia perlu dipahami sebagai etos reflektif yang kontekstual, bukan sekadar kepatuhan formal terhadap kode etik. 
Etika media harus mampu merespons perubahan sosial dan teknologi tanpa kehilangan prinsip dasarnya. 

Dalam konteks Indonesia, ini berarti menegaskan kembali bahwa kecepatan tidak boleh mengalahkan kebenaran, dan viralitas tidak boleh menggantikan verifikasi.

Pada akhirnya, deontologi media berfungsi sebagai jangkar moral di tengah disrupsi digital. Ketika algoritma dan pasar menentukan visibilitas isu, kewajiban etis jurnalisme menjadi penanda bahwa media adalah institusi publik, bukan sekadar produsen konten.

Tanpa komitmen deontologis yang kuat, media Indonesia berisiko kehilangan legitimasi sosialnya dan justru memperdalam krisis kepercayaan publik di era digital. *****
Penulis Wartawan Senior dan Pengurus Harian PWI Jaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *