2025-12-18 15:38

Ahli Hukum Pidana dan Psikolog Beberkan Kasus Penjarahan Rumah Uya Kuya

Share

HARIAN PELITA — Ahli Hukum Pidana Maidina Rahmawati mengatakan terdakwa (AN) Anisa Safitri tidak terbukti melanggar dakwaan, karena AN tidak menghendaki maksud untuk menguasai seluruh atau sebagian benda milik Surya Utama atau Uya Kuya.

Diketahui, kediaman Uya Kuya dibilangan Duren Sawit Jakarta Timur menjadi sasaran kerusuhan dan korban penjarahan yang dilakukan oleh massa pada Sabtu malam 30 Agustus 2025 di Jakarta Timur. Uya Kuya merupakan anggota DPR RI yang menjadi korban penjarahan.

Ia menegaskan bahwa terdakwa AN diajak oleh temannya WL untuk membuat video saat terjadi penjarahan. Hal ini juga diamini oleh surat dakwaaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Bahwa WL yang mengajak AN, yang mana ajakan tersebut dilakukan untuk melihat keramaian orang-orang yang melakukan penjarahan terhadap rumah Surya Utama,” ujar Maidina, Rabu (17/12/2025).

Maidina Rahmawati yang juga merupakan Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan pada saat itu yang sedang melakukan penjarahan adalah teman WL, yaitu R yang membawa TV milik Uya Kuya. Ini pun juga diamini oleh surat dakwaan JPU, bahwa yang sedang melakukan upaya mengambil barang miliki Surya Utama adalah R.

“R yang kemudian meminta AN untuk membantu membawa TV tersebut. Hal ini juga dinyatakan demikian dalam dakwaan bahwa R yang menginisiasi untuk melakukan pengambilan terhadap TV LG 60 inch miliki Surya Utama dan R meminta bantuan untuk membawa TV tersebut karena merasa terlalu berat,” katanya saksi ahli.

Pasca AN membantu membawa TV tersebut, kata dia, TV diletakkan didalam motor WL, sesuai dengan arahan WL, yang dinyatakan dalam surat dakwaan. Kemudian, TV dibawa ke bengkel milik keluarga R dengan menggunakan motor WL. Dijelaskan, saat itu sama sekali tidak ada peran lebih lanjut yang dilakukan oleh AN. 

“WL ditangkap oleh polisi, WL meminta AN untuk datang ke rumahnya. Kemudian AN ditangkap oleh polisi tanpa ada pemberitahuan kepada keluarga AN,” sambungnya.

Dalam keterangannya, orang tua AN baru mengetahui penangkapan terhadap AN setelah AN menelepon ayahnya satu hari kemudian. Suami AN tidak pernah menerima surat penahanan dan penangkapan AN. Sekedar informasi, AN berlatarbelakang pendidikan dan ekonomi yang rendah juga diungkapkan oleh tim kuasa hukum terdakwa, Siti Husnah.

“Ia hanya lulusan SMP. Suami AN tidak memiliki pekerjaaan tetap. AN dalam kondisi sakit kelenjar payudara yang mengalami peradangan. AN juga memiliki anak satu-satunya yang berusia 7 tahun dalam kondisi sakit, dan harus tinggal bersama kakek neneknya,” ungkapnya.

Namun atas kondisi ini, surat penangguhan penahanan terhadap AN tidak dikabulkan. AN sudah berusaha menghubungi Surya Utama, namun hingga proses persidangan, tidak mendapatkan jawaban dari Surya Utama.

Kesaksian dari saksi yang dihadirkan Penuntut Umum yaitu berupa polisi yang melakukan penangkapan menyatakan bahwa AN bukan ditangkap, melainkan diberikan himbauan. ” Namun AN disuruh ke kantor Polres Jakarta Timur untuk mengembalikan barang bukti yang sama sekali tidak dikuasai oleh AN. Ia juga tidak diperbolehkan pulang, lalu kemudian ditetapkan sebagai tersangka,” tandasnya.

Ketidaktepatan Keterangan Saksi

Ditemukan ketidaktepatan keterangan saksi Penuntut Umum yang menyatakan tidak melakukan penangkapan. Keterangan yang diberikan oleh saksi polisi mengenai tidak dilakukannya penangkapan terhadap AN bertentangan dengan surat dakwaaan JPU.

Karena dalam surat dakwaaan dinyatakan bahwa terhadap AN dilakukan penangkapan pada 8-9 September 2025. Maka seharusnya, sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan yang berdasarkan Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013, yaitu tidak lebih dari tujuh hari. 

Unsur Tindak Pidana yang Didakwakan dan Analisis Tidak Terbuktinya Dakwaan

AN didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHPidana. Jika dikaitan dengan UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP Nasional, padanan Pasal yang sama dengan Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 adalah Pasal 477 ayat (1) huruf e dan huruf g.

“Sesuai dengan Pasal 618 KUHP Nasional, dijelaskan bahwa pada saat KUHP Nasional berlaku, yaitu pada 2 Januari 2026, jika tindak pidana sedang dalam proses peradilan, maka harus menggunakan KUHP Nasional, kecuali dalam hal KUHP sebelumnya (KUHP 1946) mengatur ketentuan yang lebih menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa,” ujar Maidina.

Lalu, ahli juga sempat membandingkan serta perbedaan antara KUHP 1946 dengan KUHP Nasional. Tata urutan sanksi, sanksi pidana denda adalah lebih ringan dari pidana penjara diungkapkan.

Atas dasar hal tersebut, ketentuan dalam KUHP Nasional lebih meringankan dan juga lebih baru, sesuai dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yang berarti peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama. Dalam kasus ini terdakwa lainnya ialah Dimas Dwiki Rhamadani, Reval Ahmad Jayadi dan Warda Wahdatullah.

Sementara, saksi ahli psikologi Ika Putri Dewi menuturkan kondisi mental yang dimiliki seseorang bisa dipengaruhi dalam kondisi kerusuhan (chaos).  Menurutnya terdakwa Anisa Safitri dilokasi terjadinya kerusuhan merekam video. Kondisi itu mengungkapkan reaksi kekecewaan massa.

“Ketika terjadi terpengaruh, tetapi ada juga dimana sosial pada saat itu datang dan kemudian mendokumentasikan yang datang banyak orang yang tidak dikenal,” terang Ika.

Ia menambahkan saat peristiwa tersebut menurutnya ada kerumunan ada semangat semua orang melampiaskan kekecewaan itu. Anisa disitu tanpa berpikir panjang dia mengikuti membantu membawa barang itu. Pada situasi tertentu perasaan eforia itu bisa mempengaruhi seseorang.

“Jadi situasi mempengaruhi. Kondisi mentalnya baik-baik saja. Kemudian situasi yang terjadi. Kalau bicara psikologi kita tidak bisa. Kita harus melihat lagi bagaimana penghayatannya,” bebernya. ●Redaksi/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *