2025-11-18 12:05

Potensi Bebani Negara Rp300 Triliun, BPI Danantara Diminta Hentikan Tender PLTSa

Share

HARIAN PELITA — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) kembali menuai sorotan.

Forum Rakyat Bicara Peduli Pembangunan dan Kesehatan Masyarakat (FORBI PPKM) mendesak Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menghentikan tender proyek tersebut karena dinilai berpotensi membebani keuangan negara hingga Rp300 triliun selama masa konsesi 30 tahun.

Perhitungan itu muncul dari estimasi subsidi yang harus ditanggung negara. Untuk satu unit PLTSa berkapasitas 15 MW, diperlukan subsidi sebesar 14 sen dolar AS per kWh atau sekitar Rp303 miliar per tahun.

Jika pemerintah membangun 33 unit PLTSa sesuai rencana, total subsidi yang harus digelontorkan selama 30 tahun disebut dapat mencapai Rp300 triliun.

Ketua Umum FORBI PPKM Mikler Gultom menegaskan, proyek PLTSa bukan solusi terbaik dalam penanganan sampah di Indonesia, terutama di perkotaan.

“Biaya investasi PLTSa sangat besar, Rp3 triliun per unit. Dan subsidi yang akan ditanggung pemerintah juga tidak kalah besar, Rp303 miliar per unit per tahun. Dalam 30 tahun, subsidi bisa mencapai Rp300 triliun untuk 33 PLTSa. Karena itu, BPI Danantara sebaiknya menghentikan tender PLTSa tersebut,” ujar Mikler dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).

Ia juga menyoroti bahwa perusahaan yang lolos seleksi tender PLTSa hampir seluruhnya merupakan perusahaan asing.

Hal ini, menurutnya, berpotensi menambah persoalan karena para pekerja bisa jadi didatangkan dari negara asal perusahaan tersebut.

RDF Dinilai Lebih Efektif dan Ekonomis
Mikler menambahkan, pemerintah seharusnya melihat keberhasilan teknologi pengolahan sampah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) yang sudah berjalan di berbagai daerah.

Selain biaya pembangunan yang jauh lebih murah, yaitu sekitar Rp900 miliar per unit, fasilitas RDF mampu mengolah hingga 1.000 ton sampah per hari dan menghasilkan bahan bakar alternatif yang bernilai ekonomis.

“RDF yang dihasilkan justru dapat menjadi sumber pendapatan negara atau daerah. Nilainya bisa mencapai Rp 83 triliun dari 33 RDF Plant selama jangka waktu 30 tahun,” jelas Mikler.

Berbagai fasilitas RDF telah dibangun dan diresmikan pemerintah pusat maupun daerah.

Di antaranya, Fasilitas Sampah Terpadu RDF di Sukabumi yang diresmikan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq pada 31 Juli 2025.

Kemudian, RDF Cilacap yang diresmikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan pada 21 Juli 2020.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah membangun RDF Plant di Bantar Gebang dan Rorotan.

RDF Bantar Gebang menghasilkan 875 ton RDF per hari dan telah mengirimkan pengiriman perdana ke Indocement pada 27 Juni 2023 dengan harga Rp360.000 per ton.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sumenep pada 6 November 2025 menandatangani kerja sama pemanfaatan sampah perkotaan dengan PT Solusi Bangun Indonesia Tbk, serta melakukan pengiriman RDF perdana ke Tuban, Jawa Timur.

Melihat berbagai keberhasilan proyek RDF yang lebih murah, berpenghasilan, dan telah berjalan baik, Mikler mempertanyakan alasan BPI Danantara yang tetap keukeuh memilih pembangunan PLTSa.

“Tidak mempertimbangkan opsi yang lebih ekonomis dan bahkan menghasilkan pendapatan patut dicurigai dan berpotensi koruptif. Sekali lagi, BPI Danantara harus membatalkan proyek PLTSa tersebut. Uang rakyat harus diselamatkan,” tegasnya.

Ia pun berharap pemerintah dan BPI Danantara meninjau kembali kebijakan tersebut dan mengutamakan teknologi pengelolaan sampah yang lebih efisien, tidak membebani negara, serta memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. ●Redaksi/Cr-29

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *