
MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama
HARIAN PELITA — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dan menolak seluruh gugatan uji materi atau Judicial Review (JR) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait dengan permohonan pernikahan beda agama. Gugatan ini dilayangkan oleh E. Ramos Petege.
Ramos merupakan pemeluk agama Katolik asal Papua, Ia gagal menikah dengan seseorang wanita beragama Islam. Lalu, Ramos mengajukan uji materi UU Perkawinan ke MK. Gugatan ini terdaftar dengan Nomor Perkara: 71/PUU-XX/2022.
“Dengan demikian permohonan pemohon tak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman pada saat membacakan putusan, Selasa (31/1/2023).
Hal tersebut dilakukan oleh Ramos, karena pernikahan dia dengan kekasihnya terbentur Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ramos menilai kemerdekaannya hilang dalam memeluk agama dan kepercayaan yang dijamin oleh Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Lantaran, dia mesti berpindah agama bila hendak menikahi kekasihnya yang berbeda agama.
Untuk itu, MK memandang pokok permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Hakim MK Wahiduddin Adams mengatakan, ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan bukan berarti menghambat atau menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.
“Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 Ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaan,” jelasnya.
Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaan tetap menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya, sebagaimana dijamin Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 disampaikan oleh Wahiduddin.
MK menilai bahwa tidak ada perubahan keadaan dan kondisi atau perkembangan baru terkait persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan. Kemudian, MK tetap pada pendiriannya atas putusan-putusan tersebut.
Dengan demikian, MK tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. ●Red/Dw