
Pengambilan Peran Sipil Dalam Teknis Keagamaan Bertolak Belakang dengan Pemikiran Gus Dur
HARIAN PELITA — Pengambilan peran sipil yang dilakukan Menteri Agama (Menag) , Yaqut Holil Qoumas dalam urusan tehnis keagamaan bertolak belakang dengan pemikiran Almarhum Gusdur.
Hal itu dikatakan oleh Tokoh Muda Nahdatul Ulama (NU) Abdul Hamid Rahayaan kepada wartawan, terkait pernyataan Yaqut tentang pengaturan pengeras suara Adzan di Masjid dan Mushola yang menimbulkan polemik di Tanah Air.
Dikatakannya, terlepas dirinya sebagai Menteri Agama, namun dia juga merupakan kader NU, maka seharusnya langkah dan pemikirannya harus Gusdur sebagai tokoh NU.
Namun tutur Hamid, faktanya berbeda. Sebab ketika Gusdur menjabat sebagai Presiden RI ke 4,langkah awal yang dia lakukan adalah membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.
Argumentasinya adalah, kedua Departemen itu mengambil peran sipil susaiti, sehingga ruang lingkup masyarakat sangat dibatasi perannya.
Menurut Hamid, sama halnya yang terjadi saat ini urusan tehnis keagamaan diatur oleh Kementerian Agama.
“Problemnya disitu, seharusnya Yaqut memahami bahwa soal pengeras suara untuk adzan, zikir, salawat, dan pengajian serta peringatan hari besar Islam lainnya, merupakan ritual yang bersifat amaliyah yang telah menjadi budaya umat islam di Indonesia, harusnya pemerintah dalam hal ini Menteri Agama arif dan bijaksana dalam membuat kebijakan, ” kata Abdul Hamid.
Maka karena itu soal volume penggunaan pengeras suara tidak dapat disama ratakan pada tiap daerah atau lingkungan.
“Alangkah baiknya Kementerian Agama menyerahkan kewenangannya kepada dewan masjid untuk nantinya bermusyawarah dengan masyarakat dan pihak masjid dan mushola di lingkungan masing -masing, agar tercipta keharmonisan ditengah tengah lingkungan setempat, ” ujarnya.
Pada bagian lain, Hamid juga mengingatkan kepada warga NU agar tidak melakukan pembelaan atau fanatisme yang berlebihan kepada Yaqut Holil selalu Menteri Agama, mengingat saat ini dia adalah pejabat negara, dan pada saat menyampaikan pendapatnya di Pekanbaru , dalam posisi sebagai Menteri Agama, sehingga menjadi hak publik untuk menilai dan mengoreksi pernyataannya.
Atas dasar itu sambung Hamid, yang memiliki kompetensi untuk meluruskan atau menjawab pendapat publik adalah Menteri Agama atau jajarannya.
“Saya berharap kepada menteri agama agar meminta maaf kepada publik jika ada kekeliruan dalam berucap atau membuat kebijakan, ” ucap Hamid. ●Red/Zulkarnain