
Kisah Pilu Dokter THT Lulusan Fakultas Kedokteran UI Tinggal di Kolong Jembatan Kadilangu Demak
HARIAN PELITA — Kisah seorang pria paruh baya bernama Hafiz tinggal kolong jembatan yang dibagikan kanal YouTube Sinau Hurip menyedot perhatian.
Hafiz adalah mantan dokter spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ia pernah menimba ilmu hingga ke luar negeri dan hidup di Italia selama bertahun-tahun, namun kini memilih tinggal di Kolong jembatan kawasan Kadilangu, Demak, Jawa Tengah selama sembilan tahun terakhir.
“Saya dulu dokter. Saya S1-nya di UI kedokteran umum, terus saya kuliah lagi, terus nikah. Kebetulan istri saya dokter, orang Cianjur, saya ambil THT lagi waktu itu di Singapura, terus saya ke Italia. Nggak pulang-pulang di Italia 4 tahun,” ujar Hafiz.
Sehari-hari, ia banyak menghabiskan waktunya dengan beribadah di masjid hingga dini hari.
Bukan karena tak punya rumah atau harta, pria asal Jember ini memilih meninggalkan pekerjaan, yayasan pendidikan, apotek, hingga kehidupannya yang dulu mapan, dan memutuskan menepi dari dunia setelah kehilangan istri dan anak semata wayangnya.
Kepergian sang istri yang dicintainya menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.
Belum kering duka ditinggal sang istri, Hafiz harus berhadapan dengan kenyataan hidup lainnya saat putra semata wayangnya meninggal dunia dalam kecelakaan.
“Istri meninggal habis itu anak kuliah mau wisuda di Jerman pulang ke Indonesia belum sampai ke rumah kecelakan dan meninggal. Nah dari situ saya frustrasi,” katanya dengan nada sendu.
Kehilangan dua orang tersayang dalam waktu berdekatan membuat Hafiz merasa hampa.
Ia merasa tidak lagi punya alasan untuk bertahan dalam kehidupan yang dulu ia bangun dengan penuh perjuangan.
Rasa frustasi membuatnya merasa apa yang ia miliki terasa kurang, hingga memutuskan menyerahkan yayasan pendidikan yang ia kelola kepada saudara angkatnya.
Ia sempat pergi ke Cianjur, namun nggak betah. Kemudian menghabiskan hari-hari di Singapura dengan berkumpul bersama teman dokternya, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia.
Meski hidup jauh dari kenyamanan, Hafiz merasa lebih damai di tempatnya sekarang. Ia menyebut hidupnya lebih tenang dan bebas dari ambisi yang dulu membebani pikirannya.
Ia masih menjalani aktivitas dasar seperti makan dan bersosialisasi dengan warga sekitar. Namun kini ia lebih memilih hidup dalam kesederhanaan dan menerima keadaan yang datang padanya.
Di gubuk kecil di kolong jembatan yang dibangunnya dengan bantuan warga kini bukan sekadar tempat tinggal.
Di sanalah Hafiz menemukan kembali makna hidup dalam sunyi, jauh dari hiruk-pikuk dunia, namun lebih dekat dengan dirinya sendiri.
“Saya sudah siapkan segalanya, saya siap. Karena Allah yang membawa saya. Apa gunanya saya salat 5 waktu, 24 jam hidup untuk-Nya, kalau saya tidak siap menghadapi mati? Inna Sholati Wanusuki Wamahyaya Wamamati Lillahi Robbil Alamin,” ujarnya lirih. ●Redaksi/Sumber YouTube/Sinau Hurip