
Kopi dan Derita Anak Negeri
HARIAN PELITA —- Kopi kini sudah menjadi gaya hidup yang tidak mengenal lagi sekat jenis kelamin. Lewat kopi sejumlah diplomasi di meja lobi lebih mencair.
Kopi punya sejarah yang panjang. Kopi pertama kali ditemukan pada tahun 850 di daerah Mocha, yaitu sebuah daerah pelabuhan di Yaman. Ada juga yang menyebut kopi berasal dari Ethiopia.
Kongsi dagang Belanda atau VOC memulai proyek penanaman kopi tahun 1696 di daerah Gunung Sahari Jakarta Pusat yang bibitnya dari Malabar India.
Tahun 1710 Abraham van Riebeeck Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa sejak 1709-1713 memulai proyek penanaman dari Kedaung kemudian menyebar ke Depok, Bojong Gede, dilanjutkan ke hulu sungai Cisadane, Ciliwung, Cileungsi hingga ke Priangan.
VOC juga membagi-bagikan bibit kopi ke pesisir utara Pulau Jawa, mulai Batavia sampai Cirebon. Namun, budi daya kopi di dataran rendah ini kurang sukses. Akhirnya, VOC memindahkan perkebunan kopi ke wilayah dataran tinggi yang tersebar di 18 karesidenan, di antaranya Banten, Priangan, Tegal, Kedu, Semarang, dan Besuki. Perkebunan kopi di dataran tinggi ini, terutama di Priangan, sukses besar.
Empat tahun setelah diberlakukannya penanaman kopi di Tatar Sunda (tahun 1711), Aria Wiratanu Bupati Cianjur I berhasil menyetor tanaman kopi hampir 100 pon kepada VOC. Harga yang ia peroleh 50 gulden per pikul (1 pikul sama dengan 125 pon). Pada 1726, pembudidayaan kopi meluas ke dataran tinggi Priangan. Pada 1726, VOC berhasil menjadi penyalur kopi terbesar.
Setengah hingga tiga perempat dari perdagangan kopi dunia berasal dari VOC yang setengahnya dihasilkan dari Priangan bagian barat yaitu Cianjur. Atas jasanya Aria Wiratanu III juga mendapat sebutan sebagai penguasa pribumi pertama yang berhasil menyerahkan kopi kepada VOC yang membuatnya mendapat hadiah dari Gubernur Jenderal Van Swoll berupa perluasan wilayah kekuasaan hingga Distrik Jampang yang terletak di bagian timur Cianjur Selatan. Pada 1713-1718 Aria Wiratanu III juga mendapat hadiah dari Gubernur Jenderal Zwaarde Kroon berupa daerah Segarakidul yang terletak di bagian barat Cianjur Selatan atau sebelah barat distrik Jampang hingga perbatasan.
Pada 1726, VOC sudah menguasai pasar kopi dunia. Lebih dari separuh kopi dunia dipasok oleh perusahaan dagang Hindia Timur ini. Dan sebagian besar kopi VOC, didatangkan dari wilayah Priangan.
Setelah VOC tamat bersama ambruknya perusahaan itu pada 1799, eksploitasi kopi di Indonesia tetap berlangsung.
Pada 1808 era Gubernur Jenderal Daendels mewajibkan tanam kopi di Jawa. Dia memberi imbalan besar bagi bupati dan bawahannya dalam sistem pertanian kopi.
Dengan peran serta bupati, pada 1808, wajib tanam kopi meningkat tajam. Jumlah pohon di Jawa bertambah lebih dari 45 juta batang dari 26.956.467 tiga tahun kemudian mencapai 72.669.467.
Pemerintah Hindia Belanda melestarikan budi daya kopi (koffiecultuur). Pada era Gubenur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) program budi daya kopi ditingkatkan dengan sistem baru yang mencekik leher yang dikenal sebagai koffiestelsel.
Berlimpahnya kopi tidak sebanding dengan apa yang dirasakan jutaan rakyat di nusantara kala itu.
Jangankan menikmati upah yang layak, untuk menikmati kopi yang mereka tanam sendiri pun tidak bisa. Biji-biji kopi dengan kualitas terbaik dari Lebak dikirim ke Eropa. Sementara rakyat hanya bisa minum kopi dari daunnya yang disangrai hingga kering lalu direbus.
Itu membuat Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli, protes keras kepada Raja Willem III. Multatuli tidak peduli dengan protesnya itu, meski pada 1857, dia bekerja sebagai Wakil Residen Lebak. Multatuli mutung dengan semua itu. Dia merasa malu dengan kelakuan Belanda kepada rakyat di negeri jajahannya, dan memilih meminta mengundurkan diri. Namun, Belanda sepertinya gengsi mengabulkan pengunduran diri Multatuli dan memilih memecatnya dari jabatan tersebut.
Kritik Multatuli dalam novelnya Max Havelaar inilah yang ikut mengakhiri sistem tanam paksa di nusantara. ●Red/DNH