Mengenang Pak Harto: “Saya Cuma Tentara”
HARIAN PELITA — Sebagai Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto berhasil cepat mengatasi kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam melakukan kudeta pada tanggal 30 September 1965.
Lebih jauh, selaku Pejabat Presiden Pak Harto pun sudah berupaya sekuat tenaga melaksanakan pemulihan kondisi keamanan, ketertiban serta perkembangan politik di dalam negeri.
Di sisi lain, keresahan mahasiswa dan rakyat menilai munculnya “dualisme” Kepemimpinan Nasional. Yakni, antara Bung Karno selaku Presiden de facto dengan Pak Harto selaku pengendali pemerintahan sebagai Pejabat Presiden.
Sejumlah Kesatuan Aksi yang diprakarsai oleh Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia (KAMI) — yang terbentuk tahun 1966 – menyerukan tuntutan “Tritura”. Tak lepas pula, menuntut agar MPRS melakukan pergantian pimpinan nasional.
Begitulah setidak-tidaknya yang sempat berkembang di tengah-tengah masyarakat dan para mahasiwa. Kesan ini makin mengemuka saat-saat menjelang Sidang Istimewa MPRS.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan situasi tersebut MPRS segera menentukan sikap. Apalagi demonstrasi sudah marak di mana-mana, tidak saja di Jakarta.
Sujarwo yang tak pernah absen meliput saat demi saat perkembangan situasi dan kondisi pasca G-30-S/PKI itu, menjadi saksi bagaimana perjuangan Ketua MPRS Jenderal Nasution mencalonkan Soeharto sebagai calon tunggal pengganti Soekarno, dengan pertimbangan; Pertama, secara rasional suku Jawa adalah mayoritas dan sejak awal perjuangan tokoh-tokoh nasional yang muncul mayoritas dari suku Jawa.
Kedua, secara kultural masyarakat suku Jawa akomodatf dan toleran. Ketiga, prestasi militer dan kepemimpinan Pak Harto sudah terbuktikan.
Kesimpulan akhir Jenderal Nasution, untuk jangka yang cukup lama Indonesia masih harus dipimpin oleh seseorang yang berasal dari Jawa. Pada saat itu Jenderal Soeharto dinilai sebagai “orang Jawa” yang sering ditafsirkan menganut filosofi Jawa dan memenuhi persyaratan menjadi Presiden RI.
“Ketokohan Pak Harto pada tahun-tahun itu sangat menonjol, demikian pula prestasi
militer sebelumnya. Masyarakat dan mahasiswa utamanya, mendesak agar segera dilakukan pergantian pimpinan nasional,” kata Sujarwo.
Jenderal AH Nasution selaku Ketua MPRS dan pemrakarsa pencalonan Soeharto segera menemui Bung Karno. Beliau menyampaikan bahwa Jenderal Soeharto adalah calon tunggal untuk menjadi Presiden RI, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas serta menilik bobot kepemimpin yang dimiliki Soeharto.
Selain itu kenyataan bahwa kekuatan arus bawah mendukung tampilnya Soeharto menjadi pemimpin nasional. Maka sudah sepatutnya bila Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Presiden. Ketika Jenderal Nasution menyampaikan hal ini kepada Bung Karno, beliau dalam bahasa Belanda memberikan komentarnya:
“Silahkan saja, saya mempunyai jalan sendiri”, kata Bung Karno, yang juga disampaikan Sujarwo dalam bahasa Belanda.
Sujarwo masih ingat, menjelang pengusulan Jenderal Soeharto sebagai calon Presiden RI, dalam sidang-sidang MPRS diadakan di
Gedung Istora Senayan, beliau berhadapan dengan seluruh elemen masyarakat yang terwakili di DPR Gotong-Royong serta MPRS.
“Mereka menanyakan kesiapan Pak Harto untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia”, kata Sujarwo, yang dijawab Pak Harto dengan kerendahan hati;
“Saya ini kan cuma tentara. Kalau perang saya bisa, tapi untuk jadi Presiden saya ini hanya sekuku hitamnya Bung Karno” kata Pejabat Presiden Soeharto.
Ketika Pak Harto mengucapkan jawaban tersebut, banyak yang menilai suatu ekspresi sifat Pak Harto yang selalu “low profile”. Namun demikian, tekad memilih Pak Harto sebagai pengganti Bung Karno, tak surut.
“Pada saat itu tidak ada tokoh lain yang dianggap mampu memimpin Bangsa Indonesia. Apalagi situasi dan kondisi negara baru saja mengalami gejolak G-30-S/PKI.
Maka jadilah Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia ke II, yang disyahkan oleh MPRS pada Sidang Istimewa ke V, tahun 1968″, kata Sudjarwo.
baru saja mengalami gejolak G-30-S/PKI.
Maka jadilah Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia ke II, yang disyahkan oleh MPRS pada Sidang Istimewa ke V, tahun 1968″, kata Sudjarwo. ●Redaksi/sumber: Pak Harto The Untild Stories
