2025-05-24 20:00

Ramos Petege Gagal Nikah Usai Hakim MK Ketuk Palu

Share

HARIAN PELITA — Keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan.

Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi tersebut.

Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Itu diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

●Ditolak MK
Seperti permohonan diajukan oleh E Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Sidang pengucapan putusan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa  (31/1/2023). Dalam amar putusan, MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata  Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK, Rabu (1/2/2023)

MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat.

“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan
Terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tersebut, MK mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia.

Meskipun demikian, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan HAM secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing. 

Enny menjelaskan, berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, ada dua hak yang dijamin secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan hak melanjutkan keturunan”.

Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. 

Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945.

Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.

“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” ungkap Enny. ●Redaksi/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *