
Efek dari Tiktok Film Sayap-sayap Patah Raih Jumlah Penonton
HARIAN PELITA — Sukses film “Sayap-Sayap Patah meraih penonton lebih dari 2 juta itu, sama sekali tak diduga oleh Produser Eksekutifnya sendiri Denny Siregar, tokoh, selama ini dikenal pula sebagai aktivis sosial media dan penulis.
Menurut Denny, film “Sayap-Sayap Patah” yang mengangkat kisah drama fiksi, berdasarkan peristiwa kerusuhan di Mako Brimob pada 2018, dan menewaskan 5 anggota Densus 88 itu, sempat diprediksi beberapa kalangan akan gagal. Apalagi jadwal tayang bersamaan dengan meledaknya kasus Ferdy Sambo.
“Mendadak kasus itu (Ferdy Sambo) meledak, dan membuat orang berpikir film ini akan flop di awal,” ungkap Denny Siregar dalam Webinar: “Nasionalisme dan Film” diselenggarakan Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI ke XII), Jumat, 16 September 2022.
Diakui Denny, perkiraan banyak orang itu hampir betul. “Karena di hari pertama ditayangkan Sayap-Sayap Patah hanya ditonton 14.000 orang, kemudian naik secara perlahan ke angka 46.000 dan selanjutnya bergerak sampai 2 juta lebih,” ungkap Denny
Denny mengaku tidak punya dana promosi besar untuk filmnya. Sukses film ini disebut oleh Denny bukan semata-mata karena akting Nicolas Saputra dan Ariel Tatum, melainkan karena digerakan oleh postingan netizen yang mendadak viral lewat TikTok.
“Ada netizen mengunggah ending adegan dia menangis saat menonton film ini ke Tik Tok. Itulah yang membuat masyarakat penasaran, kemudian ingin menangis berjamaah di bioskop lewat ‘Sayap-Sayap Patah’,” ujar Denny.
Film “Sayap-Sayap Patah” kata Denny dirancang mengangkat kisah tentang manusia, dikonsep sebagai film drama romatis. Ada _action_, tetapi hanya sebagai bumbu dan ada pemain yang namanya terkenal dan disukai penonton. Denny mengingat film sejenis “Mumbai” dan “Die Hard””, yang berkisah tentang polisi ditembak teroris dan meraih sukses.
“Namun di ‘Sayap-Sayap Patah, saya tidak membuat film nasionalisme. Saya hanya ingin membuat film yang mengangkat kisah orang yang telah berjasa untuk negara. Ada orang-orang yang sebetulnya sangat layak untuk kita hargai. Dan pikiran kami kemudian terpusat pada peristiwa Marko Brimob!” kata Denny Siregar yang berharap tragedi tersebut tetap diingat sebagai sejarah.
Sementara itu Zinggara Hidayat, penulis buku _Jejak Usmar Ismail_ menyebut, nasionalisme dalam film memang tidak diartikan kaku hanya memperlihatkan perlawanan terhadap kolonial, munculnya uniform (seragam) dan bendera.
Zaman berubah, dan ada pula pergeseran pengertian nasionalisme.
“Lebih jauh nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimesi kutural dengan cara yang _soft_. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi!” kata Zinggara. ●Red/Sat