
Ex Kantor Wali Kota Jakbar, TPAND Minta Menko Polhukam dan Menteri ATR Gebuk Mafia Tanah dan Mafia Hukum
HARIAN PELITA — Tim Peduli Asset Negara/Daerah di DKI Jakarta (TPAND) meminta Menko Polhukam, Menpan dan Menteri ATR/Kepala BPN untuk menggebuk mafia tanah dan mafia hukum terkait bekas kantor Walikota Jakarta Barat di Jalan S. Parman Grogol Jakarta Barat yang saat ini dikuasai Yayasan Sawerigading yang akan dibangun restoran di atas lahan tersebut.
Menurut Ketua Tim Peduli Asset Negara/Daerah di DKI Jakarta Manihar Sitomorang SH, MH, gedung dan tanah kantor Wali Kota di Jalan S.Parman itu sebagai asset pemerintah, sebagai asset negara dan sebagai asset rakyat seluas 11.765 M2 harus direbut kembali karena menyangkut harkat martabat pemerintah.
Manihar menjelaskan, sesuai Undang-undang No 1 tahun 2004 pasal
50 Barang/asset Milik Negara/Daerah tidak bisa disita oleh siapapun. Terlebih Kantor Lama Walikota sudah bersertifikat, dibangun perkantoran untuk pelayanan masyarakat dan dikuasai secara pisik 35 tahun,Sedang Yayasan Sawerigading Jakarta hanya memiliki surat garapan yang belum dimohonkan haknya,
”Benar-benar ajaib, tidak bisa diterima secara logika hukum,” kata Manihar kepada HarianPelita.id, Selasa (12/9).
Menurutnya, Permohonan Yayasan Sawerigading Jakarta di atas namakan Sudharma, hanya menggunakan surat Rekomendasi Lurah Tomang No 58/1.711.1 tgl.28 Agustus 1989 dan tahun 1995 untuk membebaskan tanah seluas 6.000 M2 dari 65 penggarap.
Padahal lahan yang dimohonkan itu sudah milik orang lain dan bersertifikat a/n Tjhia Swie Ha, Elly Luwiharto, PT.Kusuma Raya Utama dan Sutrisno Sanjaya,
Tapi permohonan Sudharma anehnya dikabulkan dengan alibi lahan itu bukan lagi asset DKI tapi sudah diberikan melalui perorangan.
Dari dasar surat tersebut, dijadikan pegangan oleh Sudharma untuk menggugat Pemda DKI dengan atas nama Yayasan Sawerigading Jakarta Sudharma sebagai pimpinan yayasannya. Bahkan lahan yang digugat tidak hanya 6.000 M2 tapi 20.000M2, letaknyapun diubah yang semula di Jl.Taman S.Parman (jalan lingkungan), diganti meenjadi di Jl.S.Parman (Jl.Protokol).
Dengan luas yang digugat 20.000M2,tidak hanya Kantor Lama Walikota tapi juga Kantor Kejaksaan Negeri sedang kantor Kodim 0503 yang berada disebelah kantor Walikota berada ditengah-tengah diantara Kantor Kajari dan kantor Lama Walikota justru tidak terkena.
Untuk mengambil kembali aset Pemprov DKI Jakarta ini, dilakukan dengan cara mempidanakan Yayasan Sawerigading Jakarta yang
diduga memalsukan surat dari luas lahan dan diduga memalsukan alamat “Sudharma kala itu mengajukan permohonan penertiban ke Pemda DKI Jakarta dengan alasan lahan itu diduduki bangunan pedagang kaki-5,” tegas Manihar yang pernah menangani kasus hukum kantor Wali Kota Jakarta Barat ini, ketika menjabat Kepala Bagian Hukum di Jakarta Barat,
Manihar menambahkan sesuai Undang-undang (UU) No 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir yang ditetapkan tanggal 13 Desember 1958 diperkuat Perpu No 51 tahun 1960 mengenai larangan penguasaan tanah tanpa izin yang berhak, atau kuasanya. Dasar SK.Gubernur No.DIV- 104/e/I/1976 tanggal 13 Januari 1976 tentang Pencabutan semua surat izin menggarap tanah yang dikeluarkan kepala inspeksi Agraria DKI Jakarta tahun 1965, serta SK.Gubernur KDKI Jakarta Nomor 353 tahun 1977 tgl. 6 Juni 1977 tentang Mencabut semua keterangan Hak Garapan Tanah di wilayah DKI Jakarta. Dan melarang antara lain para Notaris untuk legalisir Pemindahan Hak Garapan.
Diperkuat dengan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tanggal 24 September 1960 yang tidak mengenal adanya Hak Tanah Garapan serta dilarang Surat Keterangan Tanah Garapan Dari Camat atau Lurah.
”Melalui Undang-undang itu, Jelas tidak dikenal lagi surat garap, seperti yang dijadikan dasar Yayasan Sawerigading Jakarta/Sudharma,” ucapnya.
Manihar menegaskan dalam kasus hukum tersebut lebih memprihatinkan selain PK Pemda DKI Jakarta ditolak juga dikenakan ganti sewa harus membayar Rp 40 milyar atas pendirian bangunan kantor walikota di Jl.S.Parman itu.
Nasib yang sama juga dialami Kejaksaan Negeri Jakarta Barat di Jl. S. Parman No 4 yang tanahnya diberikan Pemerintah DKI Jakarta seluas 2000M2 harus membayar Rp 9 milyar atas pembangunan Kantor Kejari. Meskipun Kejaksaan Negeri Jakarta Barat sebagai Pengacara Pemerintah/Pengacara Negara dan sudah menang di Mahkamah Agung,
Namun Kejaksaan Agung pasrah membayar kepada Yayasan Sawerigading Jakarta sebesar Rp 9 milyar dipotong PPH (Rp 8.550.000.000) sesuai surat permohonan Kejaksaan Agung RI kepada Menteri Keuangan RI tanggal 16 Juli 2007 ditandatangani Kejaksaan Agung Hendaman Supandji. Pembayaran itu melalui Kapala Biro Keuangan Kejaksaan Agung tanggal 15 November 2007.
Menurut Manihar Pemprov DKI tidak sepantasnya kalah dalam kasus ini. Kekalahan Pemprov DKI menunjukan kondisi hukum di Indonesia yang sangat buruk. Karena Yayasan Saweri Gading Jakarta hanya memegang surat hak garap yang belum dimohonkan haknya.
“Bagaimana mungkin MA mengalahkan Pemprov DKI yang memegang sertifikat. Lebih aneh pula, bagaimana mungkin hakim di MA menerima begitu saja keterangan palsu yang dibuat tiga pejabat,” tegasnya.
Menurut Manihar jika MA menyertakan semua institusi, peraturan dan undang- undang; UUPA, Keppres No 32 tahun 1979 yang mengatur tentang “pertanahan, kekalahan Pemprov DKI tidak perlu terjadi. Keppres No 32 tahun 1979 mengatur tentang hak-hak tanah.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin Yayasan Saweri Gading Jakarta yang tidak pernah menguasai tanah sara fisik, dan belum pernah memohonkan hak atas tanah itu, bisa mengalahkan pihak yang menguasai secara fisik selama 35 tahun tahun, dan telah memiliki sertifikat kepemilikan nya 29 tahun,” katanya.
Manihar meminta Menko Polhukam Mahfud Md dan Menteri ATR/Pertanahan Hadi Tjahjanto serta Menpan untuk melakukan upaya hukum dengan menindak semua pihak yang diduga terlibat kasus tersebut, karena banyak kejanggalan dalam perolah dan pemindahan hak terhadap lahan bekas kantor Walikota Jakarta Barat yang diduga ada mafia hukum dan mafia tanah yang melibatkan banyak oknum di pemerintahan dan aparat penegak hukum (APN).
•DPRD DKI Jakarta Tanggungjawab
Manihar juga menjelaskan dengan melakukan upaya hukum dengan menggugat pidana, maka akan terungkap penyalahgunaan lainnya, termasuk dugaan penyalahgunaan wewenang ketua DPRD DKI Jakarta periode 2004-2009 yang memberi persetujuan pelepasan asset tanpa melalui sidang paripurna.
”Setiap Pemprov DKI Jakarta menerima ataupun melepaskannya, harus seizin DPRD DKI Jakarta melalui sidang paripurna,” kata Manihar yang juga praktisi hukum. •Redaksi/Owy