2025-09-25 20:09

Jubir Gus Yaqut: Narasi KPK Soal Kuota Haji Dinilai Menyesatkan Publik

Share

HARIAN PELITA — Polemik dugaan penyalahgunaan kuota haji yang menyeret nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dinilai penuh dengan informasi yang tidak utuh.

Juru bicara Gus Yaqut Anna Hasbie menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menyoroti sebagian pasal dalam regulasi, sementara mengabaikan ketentuan penting yang justru memberikan dasar hukum bagi Menteri Agama dalam mengatur penambahan kuota haji.

Menurut Anna, publik harus mengetahui keberadaan Pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang seolah “disembunyikan” dalam konstruksi kasus KPK.

Pasal 9 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Menteri menetapkan kuota haji tambahan.”

Sementara ayat (3) menegaskan: “Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.”

“Pasal inilah yang menjadi dasar kebijakan Gus Yaqut. Tapi anehnya, pasal ini tidak pernah disebut dalam kasus. Padahal jelas memberikan kewenangan penuh kepada Menteri Agama untuk menetapkan kuota tambahan sesuai kebutuhan lapangan,” kata Anna di Jakarta, Kamis, (25/9/2025).

Anna menjelaskan, kebijakan penempatan sebagian kuota tambahan pada haji khusus tidak dilakukan tanpa alasan. Pertimbangan utama adalah faktor keselamatan jamaah haji Indonesia di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) yang memiliki keterbatasan ruang.

“Kalau seluruh tambahan kuota dialihkan ke haji reguler, kondisi di Armuzna akan jauh lebih padat dan berisiko bagi keselamatan jamaah, termasuk risiko kehilangan nyawa,” tegasnya.

Sejauh ini, sebagian pemberitaan hanya menyoroti formula 92:8 persen pembagian kuota haji tambahan, seolah-olah itu aturan mutlak yang tidak bisa bergeser. Padahal, regulasi jelas memberi ruang kebijakan bagi Menteri Agama untuk menyesuaikan distribusi kuota tambahan, dengan memperhatikan kondisi lapangan dan keselamatan jamaah.

Anna menegaskan, kasus ini menjadi pelajaran penting agar penegakan hukum tidak dipolitisasi. Mengabaikan Pasal 9 UU Haji sama saja menghadirkan hukum secara pincang. ●Redaksi/Satria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *