
Pemegang Saham Berharap Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Selesaikan Hutang PT Istaka Karya
HARIAN PELITA — PT Saeti Concretindo Wahana dan PT Saeti Beton Pracetak dua dari 160 perusahaan subkontraktor dan suplier mitra PT Istaka Karya, perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi.
Pada tahun 2008, kedua perusahaan tersebut mendapatkan pekerjaan proyek dari PT Istaka Karya, antara lain; Penambahan Lajur pada Jalan Tol Prof Dr Sedyatmo, paket 1 dan 6, untuk pengadaan square pile; Pembangunan Rusun Kodam Jatiwarna untuk pengadaan tiang pancang mini (Tripiles); pembangunan Flyover Cut Meutia untuk pengadaan Vioded Slab dan Girder U, dan proyek Tol Bawen-Semarang, Seksi III, untuk pengadaan PC Girder.

Dari empat proyek yang telah dikerjakan tersebut, semestinya PT Saeti Concretindo Wahana dan PT Saeti Beton Pracetak, menerima pembayaran lebih dari Rp6 miliar.
Tapi faktanya, setelah proyek selesai, dari sektar tahun 2010 hingga tahun 2022, PT Istaka Karya tidak melakukan pembayaran. Sehingga perusahaan terhitung mengalami kerugian lebih dari Rp6 miliar.
Padahal, proyek-proyek yang telah selesai tersebut langsung bermanfaat dan dinikmati keuntungannya oleh pemerintah, baik pusat dan daerah, serta seluruh masyarakat Indonesia.
Pemerintah pusat dan daerah, mendapatkan keuntungan multiflier effect yang tidak sedikit.
Secara tidak langsung membuka lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran, maupun keuntungan langsung melalui setoran deviden, setoran pajak, dan Penerimaan Bukan Pajak, yang setiap tahunnya terus meningkat.

PT Istaka Karya tentunya mendapatkan keuntungan jauh lebih besar.
Sebab fakta para subkontraktor dan suplier yang sebenarnya mengeluarkan modal barang dan kerja untuk proyek-proyek itu.
Sehingga, mendapati PT Istaka Karya yang merupakan perusahaan milik negara, merugi selama puluhan tahun, tentunya publik menilai sangatlah aneh.
Kalau manajemen PT Istaka Karya, termasuk juga Kementerian BUMN, salah kelola, salah urus, atau bahkan ada hal lain: Ada KORUPSI, kenapa para supplier dan subkontraktor yang dikorbankan yang sudah jelas-jelas melaksanakan kewajibannya.
Kehadiran BUMN seharusnya memberikan kesejahteraan kepada rakyat, akan tetapi dengan BUMN tidak membayar hutang-hutangnya kepada para suplier dan subkontraktor yang telah bekerja, membuktikan sebaliknya.
●Ajukan gugatan
PT Saeti Concretindo Wahana dan PT Saeti Beton Pracetak saat ini tengah mengajukan gugatan lain-lain di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan akan memasuki agenda keputusan yang dijadwalkan Senin, 30 Januari 2023.
Pemegang saham seri C dari PT Istaka Karya, perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi, berharap majelis hakim Pengadilan (PN) Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan lain-lain yang mereka ajukan dalam Perkara Nomor: 35/PDT.SUS/GLL/PKPU/2022/PN. Jkt Pst.
Harapan itu disampaikan dua pemegang saham PT Istaka Karya melalui kuasa hukumnya Amos Cadu Hina SH MH, usai persidangan dengan agenda penyampaian kesimpulan yang berlangsung Senin (9/1/2023) pekan kemarin.
“Kami mewakili pemegang saham seri C dari PT Istaka Karya, yakni PT Saeti Concretindo Wahana dan PT Saeti Beton Pracetak, meminta majelis hakim PN Jakarta Pusat menyatakan batal demi hukum Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat, dengan nomor : 26/PDT.PEMBATALAH PERDAMAIAN/2022/PN.NIAGA.JKT.PST,” kata Amos kepada wartawan di Takuni Cafe, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2023) lalu.
Lebih lanjut, Amos menerangkan, pihaknya juga meminta untuk majelis hakim menyatakan batal demi hukum penunjukan kurator yang terdapat di dalam Putusan PN Jakpus itu.
Kurator tersebut adalah Otto Bismark Simanjuntak SH, Jimmy S Pangau SH MH CLA, Yohanes Sulung Hasiando SH dan I Putu Edwin Wibisana Kartika SH.
Menurut Amos, berdasarkan fakta dan bukti yang mereka miliki, pengajuan permohonan pembatalan perdamaian (homologasi) yang diajukan PT Riau Anambas Samudra, turut tergugat dalam gugatan lain-lain ini, tidak memenuhi syarat sebagaimana Pasal 170 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
Ia menjelaskan, PT Anambas Riau Samudra saat mengajukan permohonan pembatalan perdamaian itu menempatkan dirinya sebagai kreditur adalah sangat keliru.
“Pasal 170 ayat 1, UU Kepailitan dan PKPU menegaskan, syarat mutlak yang bisa mengajukan atau menuntut pembatalan suatu perdamaian adalah kreditur dan bukan pemegang saham,” terang Amos.
Lebih jauh, dia mengatakan, putusan pembatalan homologasi yang menyebabkan PT Istaka Karya dinyatakan pailit, telah membawa kerugian terhadap klien dan juga ratusan pemegang saham.
Tak hanya itu, apa yang dilakukan PT Riau Anambas Samudra yang merupakan pemegang saham di PT Istaka Karya menjadi preseden buruk bagi hukum Indonesia.
Untuk diketahui, dalam persidangan dengan agenda pembuktian, seorang saksi yang dihadirkan kuasa hukum penggugat, yakni Joeliman Noto Koesomo (83 tahun), pemegang saham seri C di PT Istaka Karya, menyatakan tidak setuju pembatalan perdamaian yang dilakukan PT Riau Anambas Samudra. ●Red/Sat