
Praktisi Hukum Rene: Kasus Vina-Eky Timbulkan Spekulasi Rugikan Institusi Hukum
HARIAN PELITA — Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) hendaknya memberikan perhatian khusus dalam mengungkap kebenaran kasus kematian tragis sepasang remaja, Vina Dwi Arsita (Vina) dan Muhammad Rizky (Eky), asal Cirebon, Jawa Barat, delapan tahun silam. Jangan sampai muncul tudingan “peradilan sesat” dalam proses hukumnya.
Penegasan itu disampaikan praktisi hukum muda Rene Putra Tantra jaya, SH, LLM, CIM, berkaitan dengan tertangkapnya Pegi Setiawan alias Perong, satu dari tiga buronan yang diduga pembunuh Vina dan Eky. Tersisa dua di antaranya Andi dan Dani.
“Polisi harus mampu mengungkap kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Proses hukum penyidikan maupun penyelidikan harus profesional. Jangan ada indikasi kejar target, kasus harus cepat diselesaikan, dimana akhirnya sarat rekayasa. Barang bukti, pelaku, dan saksi-saksi direkayasa,” paparnya kepada wartawan, Senin (27/5/2024).
Menurut Rene, jika proses hukum dilakukan sekedar kejar target, tidak profesional, maka dapat dipastikan hasil proses hukum adalah peradilan sesat yang sangat merugikan dan mendegradasi kewibawaan dalam penegakan hukum di negeri ini.
“Tugas Polri harus ungkap kebenaran dari peristiwa kasus Vina-Eky agar tak melebar kemana-mana sehingga merugikan institusi penegakan hukum seperti Polri, kejaksaan dan pengadilan,” kata advokat muda ini.
Terlebih lagi, lanjutnya, kasus pembunuhan disertai perkosaan terhadap Vina dan Eky Cirebon yang sudah ditelan waktu delapan tahun, kini diperbincangkan secara nasional. Menjadi viral setelah kasusnya dibuat film layar lebar. Media massa, pakar/praktisi hukum, akademisi dan aktivis HAM menyorotinya.
“Saran saya, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo harus cepat bertindak agar kasus Vina dan Eky tidak menimbulkan spekulasi yang dapat merugikan institusi Polri, yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia,” kata alumni strata dua Leeds Beckett University United Kingdom (Inggris) jurusan International Business Law.
Rene juga berharap, jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian luntur gegara hanya mampu menangkap satu pelaku dari tiga buronan. Ini tantangan, tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi penyidik Polri, yakni harus bisa menangkap dua pelaku lain yang masih buron. Sebab, akhir-akhir ini berkembang anggapan masyarakat di media online, bahwa kedua buronan itu seolah tidak bisa ditangkap karena dilindungi oleh oknum pejabat. Benarkah begitu? Untuk mengantisipasinya, narasi itu harus segera dihentikan dengan upaya ekstra kerja keras penyidik Polri menangkap seluruh pelaku lainnya,” urainya.
Yang penting, lanjut advokat muda ini, Polri harus bisa menghapus anggapan miring masyarakat, bahwa proses hukum kasus Vina dan Eky tidak sarat rekayasa. Serta meyakinkan publik, delapan pelaku yang diduga anggota geng motor, yang sebelumnya sudah dihukum seumur hidup (tujuh orang) dan delapan tahun penjara, proses hukumnya sudah sesuai ketentuan hukum. Dan bukan peradilan sesat.
“Tapi, terus terang saja, meyakinkan masyarakat bahwa proses hukum kasus Vina dan Eky sudah sesuai aturan hukum, tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi pelaku Pegi Setiawan alias Perong baru diciduk delapan tahun kemudian. Itupun dua pekan setelah film kasus Vina beredar, dan menjadi viral di negeri ini,” ungkap Rene.
Seperti halnya ketika polisi meyakinkan publik dalam kasus perkosaan terhadap gadis penjual telor bernama Sumarijem alias Sum Kuning di Jogyakarta pada 1970, yang dilakukan gerombolan anak muda di dalam mobil, prosesnya sudah sesuai prosudur hukum.
“Tapi faktanya ketika itu, kepercayaan masyarakat terhadap Polri hilang. Bagaimana tidak, mengingat pelaku yang diajukan ke pengadilan seorang tukang bakso, yang kemudian membantah bukan sebagai pelaku. Babak berikutnya, polisi menjadikan sepuluh pemuda sebagai tersangka, dan lagi-lagi kembali dibantah,” cerita Rene.
Kalau boleh disimpulkan, kata praktisi hukum ini, masyarakat saat itu sudah beranggapan kasus Sum Kuning penuh rekayasa. Sebab, taput diduga, pelakunya adalah gerombolan anak jalanan yang notabene dilindungi oknum pejabat setempat. Tidak tertutup kemungkinan salah satu pelakunya adalah anak pejabat.
“Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, mengingat di era tahun 1970an yang punya mobil kan pasti pejabat. Sum Kuning diperkosa di dalam mobil, sementara kasusnya sampai hari ini belum terungkap. Memprihatinkan. Lebih parah lagi, aparat hukum malah menuduh Sum Kuning membuat laporan palsu,” ungkap Rene atas suatu peristiwa pidana yang belum bisa diungkap polisi dalam rentang waktu 54 tahun.
Seperti diketahui, kasus pembunuhan sekaligus perkosaan terhadap Vina dan Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016 dilakukan sekelompok geng motor. Mayat dua remaja itu dibuang ke sungai.
Polisi berhasil mengamankan delapan pelaku, di antaranya: Rivaldi Aditya Wardana (21), Eko Ramadhani (27), Hadi Saputra (23), Jaya (23), Eka Sandi (24), Sudirman (21), dan Supriyanto (20), mereka divonis seumur hidup. Sementara Saka Tatal, masih dibawah umur, divonis hukuman 8 tahun penjara.
Dalam perkembangannya, mereka menyebut nama Perong, Andi dan Dani sebagai pelaku utama. Ketiga pelaku itu dinyatakan DPO oleh polisi. Baru Perong kemudian berhasil ditangkap, itupun setelah kasusnya di filmkan, dan menjadi viral di tengah masyarakat.
“Lantas, apakah polisi mampu memberangus dua buronan tersebut, kemudian mengungkap secara terang benderang kasus pembunuhan Vina dan Eky? Kita tunggu semangat Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo dan jajaran dalam menuntaskan kasus ini,” pungkas Rene. ••Red/ri