
Jakarta Kota Global dan Tantangan Problematika Sosial
FOTO: Transportasi air jadul “eretan” yang masih bertahan di Jakarta
JAKARTA kini bukan lagi ibu kota. Perannya sebagai pusat pemerintahan, kini berganti menjadi pusat perekonomian nasional dan menjadi kota global sebagaimana amanat Undang Undang No2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Jika digadang sebagai pusat perekonomian nasional, memang realistis karena potensi Jakarta terbilang besar. Tercatat 16,77 persen perekonomian nasional disumbang oleh Jakarta.
Namun, ada banyak catatan yang perlu dibenahi. Mulai dari persoalan pasar tradisional di beberapa tempat yang bangunannya sudah tidak layak, akses permodalan yang masih sulit dengan bunga di atas 5 persen, perizinan yang berbelit, hingga kondisi koperasi yang mati suri.
Sejumlah persoalan itu adalah tantangan. Jakarta harus berbenah agar statusnya sebagai daerah otonom tidak sekadar stempel. Sektor Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) juga perlu digenjot lagi. Jakarta punya banyak gedung dan hotel berskala internasional untuk acara besar.
Jakarta juga ada Gelora Bung Karno (GBK) dan Jakarta International Stadium (JIS) yang bisa menggelar pertandingan besar dengan mendatangkan tim sepak bola dari Eropa dan Amerika Latin.
Jakarta juga punya destinasi wisata unik yakni kawasan Kota Tua dan Pecinan Glodok. Di tempat ini banyak wisman khususnya dari Belanda sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menapaktilasi perjalanan nenek moyang mereka di masa lalu.
Tapi, ingat lalu lintas juga perlu dibenahi. Sebab, mereka datang ke Jakarta bukan untuk menikmati kemacetan. Memang Jakarta sudah punya transportasi publik yang canggih semacam MRT dan LRT.
Jakarta juga sudah ada Transjakarta dan Commuterline yang melayani warga Jabodetabek. Namun, itu tidak cukup karena jumlah pengguna dan moda yang tersedia jumlahnya belum ideal.
Jakarta harus punya keberanian memanfaatkan aliran sungai untuk jalur transportasi. Terlebih, transportasi air memanfatkan sungai sebenarnya bukan terobosan baru.
Sejak zaman dulu masyarakat kita kerap memanfaatkan Kali Ciliwung untuk membawa hasil bumi untuk dijual di kota. Dulu ratusan batang bambu dari Bogor untuk pembuatan bilik-bilik rumah warga biasa dihanyutkan melalui jalur sungai dan masih terlihat pemandangan itu di Jakarta hingga era tahun 90-an.
Tahun 1648 Kapten Phoa Beng Gan -Kapten kedua masyarakat Tionghoa- pernah membangun kanal untuk tol air berbayar dengan membangun Kali Molenvliet yang kini berada di Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk dengan pasokan air dari Ciliwung yang disodet dari kawasan Pejambon.
Di masa akhir kepemimpinan Gubernur Sutiyoso pun pernah mencoba membangun transportasi air dengan membuat dermaga di kawasan Manggarai. Tapi, ide itu gagal total karena kondisi air tidak stabil kadang tinggi dan kadang surut. Parahnya lagi, baling-baling mesin perahu kerap mati tersangkut sampah plastik yang wara-wiri di atas kali.
UU No2 Tahun 2024 Pasal 24 terdapat kewenangan khusus dalam Subbidang Lalu Lintas salah satunya pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk pengembangan jaringan angkutan umum massal di wilayah Provinsi DKJ.
Jakarta punya modal untuk itu, karena dilintasi 13 sungai. Sungai-sungai yang selama ini membuat warga was-was takut kebanjiran harus didayagunakan agar fungsinya tidak sekadar sebagai tempat larinya air.
Begitu pun konsep kota global yang ingin dituju, bukanlah perkara enteng. Itu artinya kompetitorJakarta bukan lagi provinsi lain di dalam negeri, tapi level Jakarta harus sejajar dengan kota-kota besar di dunia seperti Singapura dan London.
Dulu waktu Fauzi Bowo masih menjabat Gubernur Jakarta, dia dipusingkan dengan wabah baru bernama flu burung. Penyebabnya, tentu saja dari unggas. Yang membuat Foke-sapaannya-tak habis pikir bagaimana mungkin warganya yang tinggal di kota besar punya kebiasaan memelihara ayam dan sejenisnya yang biasanya dilakukan oleh orang-orang di kampung.
Saat Foke kunjungan ke kawasan Cipulir, dia juga mengaku harus memutar otak karena anggaran yang sedikit di masanya, justru dipakai untuk mengeruk sampah di Kali Pesanggrahan yang terus menyempit dan dangkal.
Padahal, kata dia, jika masyarakat punya kebiasaan bersih uangnya bisa dialihkan untuk sektor lain yang membutuhkan sehingga tidak mubazir untuk pekerjaan serupa yang berulang-ulang.
Baru-baru ini kita juga dikagetkan dengan viralnya video orang memelihara ayam di puncak gedung bertingkat di kawasan elite Kuningan. Belum lama ini saya juga mendengar tetangga ngomel ke tetangga depan rumah, karena baju di jemurannya terkena kotoran burung dara yang dipeliharanya.
Apakah mungkin kota global warganya masih memelihara unggas di teras rumah dengan lingkungan padat penduduk? Jalan di gang yang sempit, dan got yang mampet.
Kota global adalah kota yang warganya sejajar dengan warga dunia, yang bukan lagi berkutat pada problematika sosial yang kadang berujung konflik horizontal sehingga membuat status kota global menjadi jargon semata. *****
•Penulis Dunih Mutani –Redaktur