2025-05-24 4:43

Jakarta WeltevredenGeliatkan Sejarah Era Batavia

Share

HARIAN PELITA — Jakarta menyimpan sejarah yang kaya di era Batavia. Warisan sejarah ini coba dihidupkan kembali sebagai bekal pengetahuan untuk generasi muda.

Adalah Yayasan Weltevreden yang merasa terpanggil untuk menarasikan kembali sejarah kepada generasi millenial.

Lalu, mengapa peluncuran Jakarta Weltevreden dilakukan di Lapangan Banteng? Ketua Dewan Pengawas Yayasan Jakarta Weltevreden, Lahyanto Nadie menjawabnya dengan pantun:
Peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng

Karena kampung Betawi ini sangatlah bersejarah

Wisatawan mancanegara bawa oleh-oleh ditenteng

Momentum hajatan Jakarta 22 Juni membawa berkah

Dia melanjutkan, Lapangan Banteng bukan hanya memiliki sejarah yang Panjang untuk Jakarta dan Indonesia.

“Aye dan babe punya kenangan yang dalem banget di sini,” katanya dengan logat Betawi yang kental.

Ia kemudian bercerita tentang taman yang instragramable dan patung Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung bertubuh kekar yang kini ada di Lapangan Banteng itu dikenal dengan nama Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung yang berdiri sejak 17 Agustus 1963 itu menjadi ikon lapangan tersebut.

Bang Lay, begitu panggilan akrabnya, menjelaskan, manajemen Yayasan Jakarta Weltevreden, dipimpin oleh Toto Irianto yang pernah menjadi Direktur Utama dan Pemimpin Redaksi Pos Kota, koran terbesar pada masanya, sejak tahun 1970-an. Sedangkan sekretaris dijabat oleh Hamzah Ali, pengusaha muda yang bergerak dalam industri teknologi digital, publishing, dan riset.

“Wartawan senior Dimas Supriyanto sebagai bendahara,” katanya, Rabu, 22 Juni 2022.

Toto Irianto yang akrab dipanggil Pak Toir menjelaskan, visi yayasan yang dipimpinnya adalah Menjadikan Kawasan Jakarta Weltevreden sebagai destinasi wisata bertaraf internasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Jiwa kami terpanggil untuk merawat Jakarta sebagai palang pintu Indonesia agar semakin berkembang menjadi kota berkelas dunia,” ujar pria asal Cirebon itu.

Menurutnya, para pendiri yayasan berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Selain nama-nama tersebut di atas, ada Marthen Selamet Susanto, Firdaus Baderi, Mohammad Fauzy, Christian Chang, Arief Soeharto, Endy Subiantoro, Muhammad Ashraf Ali, I Made Karmayoga, dan Victorius Goenawan Wibisono.

Toir menjelaskan, para tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang itu bersatu karena memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. “Kami tidak dapat memilih lahir di mana dan dari suku apa. Itu sunatullah.”

Namun, bagi Toir, Jakarta Weltevreden menyatukan keberagaman itu karena memiliki pandangan yang sama untuk kemajuan Jakarta dan Indonesia.

Jakarta Weltevreden belakangan makin menjadi pembicaraan hangat karena banyak perubahan yang menjadi pilihan bagi kaum milenial dan generasi Z untuk berfoto, ngobrol, ngopi, bahkan melakukan penelitian untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi.

MERINDU BATAVIA

Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, kini banyak yang merindukan kenangan akan Batavia.

Yudi adalah aktivis dan cendekiawan muda. Pemikirannya dalam bidang keagamaan dan kenegaraan tersebar di berbagai media.

“Segala hal di Batavia,” puji WA van Rees (1881), “lapang, terbuka, dan elegan”. Pada titik ini, kemolekan Jakarta belum beranjak dari gambaran Tomé Pires tiga abad sebelumnya, “Sebuah pelabuhan yg indah, salah satu yg terbaik di Jawa”.

Ketika pelabuhan Jayakarta dijadikan pangkalan VOC oleh Jan Pieterszoon Coen dan berganti nama jadi Batavia, 12 Maret 1619, kota ini merupakan benteng terisolasi di tengah belantara. Pada abad 18, hutan di sekitar kota dikonversi jadi sawah dan perkebunan tebu.

Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk Pemerintahan Napoleon jadi gubernur jenderal dgn misi, “menjaga Batavia dari serangan Inggris”. Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan. Ia bangun Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan, dinamai Weltevreden (Menteng), artinya ’sungguh memuaskan’. Untuk kenyamanan dan kelancaran birokrasi, kantor pusat pemerintahan dipindah ke Buitenzorg (Bogor), yg lebih ramah terhadap cita rasa Eropa. Semua ini merupakan usaha mewujudkan Batavia sebagai the Queen of the East.

FISIK DAN JIWA

Berawal dari ngopi di Pos Bloc
Pembangunan fisik Batavia dan sekitarnya seiring dengan pembangunan jiwanya. Klub-klub bergaya Eropa, sekolah, lembaga penelitian, jurnal ilmiah, dan media massa tumbuh. Klub eksklusif—Harmonie Societiet–berdiri 1815, jadi pusat pergaulan, informasi, dan bacaan. Terinspirasi semangat pencerahan, sekolah dasar Eropa didirikan di Menteng 1817. Kebun Raya Bogor dengan institut terkait didirikan 1817, disusul Perhimpunan Ilmu-ilmu Alam Hindia, 1850. Mengantisipasi pertumbuhan Jakarta-Bogor yang kian mekar, sejak 1873 kedua kota itu dihubungkan kereta api pertama di Hindia.

Perkembangan kota memenuhi bayangan Max Weber, “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.” Ini dimungkinkan oleh birokrasi pemerintahan yg kapabel. Birokrasi kolonial memang represif, tetapi tetap mengupayakan prinsip rasionalitas birokrasi. ●Red/st/dun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *