
Deolipa Yumara: Tambang Nikel di Raja Ampat Picu Kontroversi Antara Keindahan dan Eksploitasi
HARIAN PELITA — Polemik keberadaan tambang nikel di kawasan Raja Ampat kembali mencuat.
Publik mengecam eksploitasi sumber daya alam di wilayah selama ini dikenal surga pariwisata dunia karena keindahan laut, terumbu karang serta keanekaragaman hayatinya.
Deolipa Yumara seorang praktisi hukum aktif dalam isu lingkungan, menegaskan bahwa meskipun izin tambang itu secara hukum sah, persoalan utamanya bukan sekadar legalitas, melainkan soal keberlanjutan dan etika pengelolaan ruang hidup.
“Tambangnya memang punya izin, tapi apakah bijak menambang di kawasan yang identik dengan pariwisata dan ekosistem laut yang rapuh?,” ujarnya kepada wartawan, Senin (9/6/2025).
Nama Raja Ampat selama ini melekat dengan destinasi wisata kelas dunia.
Ikan-ikan tropis, terumbu karang warna-warni, dan pantai yang jernih adalah citra yang melekat kuat di benak masyarakat lokal maupun turis mancanegara.
Namun kini kawasan tersebut tercoreng oleh keberadaan aktivitas tambang yang berpotensi merusak citra serta ekosistemnya secara permanen.
Kerusakan yang dikhawatirkan bukan hanya soal visual atau pencemaran tanah, tetapi juga dampak jangka panjang terhadap laut.
Partikel-partikel nikel terbawa arus laut disebut-sebut mampu merusak habitat laut, mengancam keberadaan spesies laut, dan menurunkan daya tarik wisata alam Raja Ampat.
●Siapa bertanggung jawab?
Pertanyaan besar kini tertuju pada siapa yang mengeluarkan izin tambang di kawasan konservasi tersebut.
Diketahui izin ini sudah dikeluarkan sejak beberapa tahun lalu oleh pemerintah pusat. Minimnya koordinasi antara kementerian pariwisata dan sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) menjadi sorotan.
“Apakah mereka tidak memperhitungkan dampak ekologis dan potensi kerusakan destinasi wisata unggulan Indonesia?” tanya seorang aktivis lokal.
●Pro dan kontra di tengah masyarakat
Di sisi lain, masyarakat lokal juga terbelah. Sebagian mendukung tambang karena alasan ekonomi jangka pendek—pekerjaan, subsidi, dan penghasilan tambahan. Namun banyak pula yang menolak keras karena sadar bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi akan mengorbankan generasi mendatang.
Sebagai bentuk protes, sejumlah aktivis lingkungan dan seniman lokal bahkan menciptakan lagu bertema kerusakan lingkungan, bukan sebagai ekspresi seni semata, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang merusak tanah kelahiran mereka.
“Kami tidak sekadar berkarya, tapi kini menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas izin yang mencemari Raja Ampat,” ujar Deolipa Yumara yang juga berprofesi sebagai musisi.
●Desakan penutupan tambang dan pemulihan lingkungan
Kini masyarakat, pegiat lingkungan, seniman, dan sejumlah praktisi hukum mendesak pemerintah untuk segera mencabut IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan menghentikan operasional tambang nikel di Raja Ampat.
Tujuannya adalah untuk memulihkan kembali citra Raja Ampat sebagai destinasi wisata berkelanjutan dan menjaga kelestarian alam bagi masa depan.
“Kalau tidak dihentikan sekarang, keindahan Raja Ampat hanya akan tinggal cerita. Dan kerusakan yang terjadi akan sangat sulit dipulihkan,” tegasnya. ●Redaksi/Satria