
Fikih Hijau Instrumen Teologis Negara Muslim Menjawab Tantangan Lingkungan
HARIAN PELITA — Persoalan lingkungan menjadi tantangan pelik di hampir semua negara. Negara-negara Muslim sejatinya memiliki landasan teologis berupa fikih ekologi sebagai landasan kuat untuk menghadirkan lingkungan yang ramah dan berkelanjutan.
Sayangnya, dikatakan Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie di negara-negara muslim termasuk Indonesia, belum menempatkan agenda perubahan iklim dan energi hijau sebagai pilihan kebijakan untuk menjawab tantangan lingkungan.
Tholabi mengungkapkan tantangan mempertahankan lingkungan yang berkelanjutan menjadi tantangan nyata yang dihadapi berbagai negara-negara di dunia tak terkecuali di negara-negara muslim.
Itu diutarakan dia disela-sela kuliah umum Pascasarjana UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi, Sumatera Barat.
“Fenomena nyata yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa jumlah penduduk di muka bumi ini semakin bertambah, dengan begitu maka tuntutan untuk mempertahankan hidup menjadi kian nyata,” jelas Tholabi, Rabu (14/5/2025).
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta itu menandaskan sejumlah negara-negara Muslim menghadapi persoalan lingkungan yang mengkhawatirkan. Tholabi menyebutkan Turki mengalami penurunan curah hujan yang menyebabkan ancaman ketersediaan air.
Kemudian di Bangladesh diprediksikan pada tahun 2050 akan memicu migrasi warganya akibat perubahan iklim yang serius.
Begitu pula di Timur Tengah, dalam beberapa dekade ke depan sejumlah wilayah tidak dapat dihuni akibat gelombang panas.
“Sementara Indonesia, negara kita, dikenal dengan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia,” sambungnya.
Lebih lanjut, fenomena ekologis yang mengancam negara-negara muslim, termasuk Indonesia, tidak menjadi pemicu negara-negara muslim untuk memulai dan menerapkan agenda perubahan iklim dan energi hijau.
“Padahal, dengan dalil dan argumentasi yang tak pernah terbantahkan, Islam mengajarkan para pengikutnya untuk menjaga bumi dan alam semesta, melarang kerusakan dan kehancuran,” ujar Tholabi.
Ancaman iklim, kata Tholabi, ancaman bencana alam, ancaman kerusakan lingkungan, serta semakin rusaknya bumi ini menunjukkan pengelolaan bumi yang semakin jauh dari nilai luhur keIslaman.
Padahal, kata dia, keberadaan syariat yang menjadi “jalan” bagi umat manusia belum sepenuhnya bisa mewujudkan “bumi” yang lebih baik.
“Bukan karena syariatnya itu sendiri, tapi karena nilai-nilai luhur itu belum diterjemahkan ke dalam etika dan hukum kehidupan,” beber Tholabi.
Dia menekankan, fikih ekologis atau fikih hijau yang dimiliki Islam menjadi instrumen untuk menjawab tantangan di sektor lingkungan.
Menurut dia, umat Islam secara khusus dan bagi umat manusia pada umumnya untuk kembali memakmurkan bumi dengan cara-cara yang baik, terikat dengan tujuan ilahiah, dan sekaligus juga membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
“Pemaknaan islam rahmatan lil alamin di antaranya, menjadi landasan teologis untuk menghadirkan fikih hijau demi kemaslahatan publik dan keberlanjutan generasi mendatang,” tegas Tholabi.
Sekedar informasi kuliah umum digelar secara hybrid yang dihadiri para dosen dan ratusan mahasiswa program sarjana dan pascasarjana UIN Sjech M Djamil Djambek Bukttinggi. Kuliah umum ini digelar dalam rangka menyambut perkuliahan perdana Program Doktor Ilmu Syariah UIN Sjech M Djamil Djambek, Bukttinggi, Sumatera Barat. ●Redaksi/Dw