
Soal Minyak Goreng, NasDem Nilai Negara Kalah dan Didikte
FOTO Rachmad Gobel
HARIAN PELITA — Wakil Ketua DPR RI, Rachmad Gobel, mengatakan, kisruh perdagangan minyak goreng merupakan bentuk kekalahan dan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Simbol kekalahan itu ditunjukkan oleh pernyataan Menteri Perdagangan.
“Seperti dikutip media, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui tidak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan,” ujar Gobel dalam keterangannya, pekan lalu.
Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengatakan sejak Desember 2021, terjadi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Pemerintah kemudian menetapkan batas atas harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan (Rp14 ribu per liter) dan minyak goreng curah (Rp11,5 ribu per liter). Pemerintah juga memberikan subsidi agar harga minyak goreng tetap terjangkau masyarakat.
“Namun terjadi kelangkaan minyak goreng. Bahkan masyarakat harus berebut untuk mendapatkan minyak goreng subsidi yang dijual melalui minimarket dan supermarket,” jelas Gobel.
Ditambahkan, masyarakat juga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng subsidi melalui operasi pasar yang dilakukan sejumlah pihak. Bahkan akibat antre ini, ada warga yang meninggal setelah mengalami sesak napas.
“Atas kelangkaan ini, Kementerian Perdagangan bahkan menuduh ibu-ibu menimbun minyak goreng di dapur. Akhirnya, mulai Kamis (17/3) pemerintah mencabut ketentuan HET dan menyerahkan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar, sedangkan untuk minyak goreng curah dikenakan HET Rp14 ribu per liter,” papar Gobel.
Setelah pengumuman itu, tambahnya, tiba-tiba minyak goreng hadir berlimpah di minimarket dan supermarket dengan harga sekitar Rp22 ribu hingga Rp 24 ribu per liter.
“Kondisi ini menunjukkan negara kalah dan didikte oleh situasi. Indonesia adalah negara penghasil CPO dan minyak goreng terbesar di dunia. Jadi tidak ada masalah dengan produksi. Yang jadi masalah adalah meningkatnya permintaan dunia sehingga harga naik,” terang Gobel.
Masih menurut Gibel, para pengusaha lebih memilih menjual produksinya keluar negeri dengan harga lebih mahal daripada menjual ke dalam negeri dengan harga yang diatur pemerintah. ●Red/Alia