2025-05-25 1:45

Presidential Threshold Akar Masalah, MK Harusnya Jaga Konstitusi, Sebut LaNyalla

Share

HARIAN PELITA — Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan, Presidential Threshold merupakan akar permasalahan bangsa.

Karena itu, DPD secara kelembagaan telah mengajukan judicial review terkait PT 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Itu disampaikan LaNyalla saat menerima audiensi puluhan aktivis tergabung dalam Presidium Aksi Selamatkan Indonesia (ASELI) di Gedung B Nusantara III, Jumat (20/5/2022).

Para aktivis sebelumnya melakukan unjukrasa di depan Gedung MPR DPR, Senayan, Jakarta.

Ketua DPD RI didampingi Senator Bustami Zainuddin (Lampung), Fachrul Razi (Aceh), Ketua Gerakan Bela Negara (GBN) Brigjen TNI (Purn) Purnomo, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Brigjen Pol Amostian dan Togar M Nero serta Kepala Biro Sekretariat Pimpinan DPD RI Sanherif Hutagaol.

Dari Presidium ASELI, hadir lain Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, Kolonel (Purn) Sugeng Waras, Ruslan Buton, Babe Aldo, Muhiddin Jalih alias Jalih Pitung, Nuralam, Buyung Ishak dan sejumlah aktivis lainnya.

“Presidential Threshold adalah pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi masuk menguasai kekuasaan. Karena gabungan partai politik, hanya akan menghasilkan jumlah calon presiden yang terbatas,” kata LaNyalla. 

Ditambahkannya, Presidential Threshold juga menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai calon presiden yang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membayar ‘mahar’ terhadap gabungan partai-partai tersebut.

“Lalu Oligarki Ekonomi bisa dengan mudah mengendalikan kebijakan negara melalui Presiden yang berhutang budi kepada mereka,” ucap dia.

Presidential Threshold membelenggu partai politik sehingga tidak bisa mencalonkan kader-kader terbaik. Karena terpaksa harus bergabung dengan Partai Politik lain, meskipun secara platform perjuangan partai sangat berbeda. 

Presidential Threshold juga menghasilkan bagi-bagi kursi maupun jabatan lain untuk parpol koalisi yang terpaksa bergabung dan tidak bisa mengusung kadernya. 

“Lebih krusial lagi koalisi Partai Politik yang besar ini membuat mekanisme 
check and balances legislatif terhadap Eksekutif lemah. Yang terjadi kemudian DPR RI menjadi stempel kebijakan pemerintah,” lanjutnya. 

Ditambahkannya Presidential Threshold juga sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar, Pasal 6A. Sehingga Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sama sekali tidak derivatif terhadap Konstitusi. 

Ambang batas pencalonan presiden sangat mungkin mengakibatkan sistem tata negara stuck atau macet. 

“Bahkan Pilpres bisa tertunda jika partai politik kompak hanya mendaftarkan satu pasang calon, melalui Gabungan yang berjumlah lebih dari 80 persen kursi di 
DPR atau lebih Dari 75 persen suara sah Pemilu. Karena Undang-Undang Nomor 7/2017 tidak mengatur jalan keluar apabila pendaftar hanya satu pasang,” papar dia.

“Belum lagi polarisasi bangsa ini juga terjadi akibat PT tersebut. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi lemah,” tegasnya.

Karena itulah, lanjutnya, solusi dari permasalahan tersebut adalah di Mahkamah Konstitusi. Makanya DPD RI secara kelembagaan melakukan judicial review. ●Red/Yadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *