
RUU TPKS Harus Dibahas Mendalam dan Komprehensif, Tim Perumus Jangan Teburu-buru
HARIAN PELITA —- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di DPR terus berjalan.
Sejak awal pembahasan, dinamika mewarnai perumusan RUU diharapkan bisa menjadi payung hukum untuk melindungi seluruh masyarakat dari kekerasan seksual.
DPR masih mematangkan pembahasan Daftar Inventaris Masalah sebelum nantinya dibahas dalam rapat pleno Badan Legislatif, Senin (4/4/2022).
Aktivis Perempuan Mahardhika Vivi Widyawati dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK) menyatakan, dari awal pembahasan, RUU ini memang sangat dinamis dan banyak mengalami capaian.
Walau masih ada beberapa yang diperjuangkan lagi, namun saat ini sudah terdapat 7 (8-Red) bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya hanya ada 5 bentuk kekerasan seksual.
“Yang dulu 5 pasal, sekarang sudah ada tambahan 2 pasal baru, yaitu pasal perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan, ini sebuah capaian yang progresif,” terang Vivi Widyawati.
Vivi berharap, setelah rapat Panja digelar Sabtu (2/4/2022), tim perumus bisa memperdalam pembahasan dan jangan terburu-buru. Info yang beredar, DPR menargetkan bahwa RUU ini akan disahkan oleh Presiden pada 21 April.
Titi Anggraini, Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), turut mengapresiasi komitmen dan kerja keras DPR untuk menuntaskan RUU TPKS. Titi melihat perkembangan positif berupa diakomodirnya substansi yang cukup progresif dan menunjukkan keberpihakan pada korban.
“Diperluasnya ruang lingkup kekerasan seksual dari semula 5 bentuk menjadi lebih lengkap cakupannya, dimasukannya korporasi sebagai pelaku, serta pengakuan terhadap pendamping korban secara eksplisir merupakan perkembangan positif dari dinamika pembahasan RUU TPKS,” terang Titi Anggraini, Senin (4/4/2022).
Panitia kerja (Panja) RUU TPKS menyepakati delapan jenis kekerasan seksual. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 4 Ayat 1 RUU TPKS. Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, “Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik”.
MPI berharap jelang pengesahan, DPR bisa lebih komprehensif mendengar masukan dari kelompok masyarakat sipil terutama terkait dengan restitusi yang mestinya betul-betul bisa memberikan manfaat dan keadilan bagi para korban.
Ketua DPR RI Puan Maharani, dalam acara audiensi dengan para aktivis yang mengawal RUU TPKS menyebut, dirinya menyadari banyak pihak mempertanyakan mengapa RUU TPKS tak kunjung disahkan.
Puan menekankan tak ada upaya-upaya penjegalan, tetapi RUU TPKS perlu melewati beragam mekanisme dan pertimbangkan untuk dapat diselesaikan. ●Red/Yadi