
Panggung Politik Hijau dan Sampah Politik || Oleh Ar Riri Hananta
“PELAKSANAAN pemilu yang tak berpihak pada politik pelestarian lingkungan akan semakin memperburuk mekanisme kesimbangan alam dan mempengaruhi perubahan iklim global”.
Demokrasi hijau dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi relevan untuk disejajarkan dengan sistem pelaksanaan pemilu di Indonesia. Harus diakui, jika sistem Pemilu di Indoneisa secara kultural belum berpihak pada politik pelestarian lingkungan.
Sebagai contoh pengadaan pembuatan kertas suara pemilu jika dikonversikan dengan berapa jumlah pohon sebagai bahan baku pembuatan kertas dan berapa batang pohon akan ditebang bahkan berapa hektar hutan-hutan digunduli untuk pemilu.
Oliver Tickell telah mengingatkan sebelumnya bahwa manusia telah memakai 30% lebih dari apa yang bumi sediakan tiap tahun dalam www.kabarindonesia.com jumlah penduduk semakin bertambah pesat sedangkan penemuan teknologi lebih lamban dari laju kerusakan lingkungan yang terjadi.
WWF, 2022 juga menyebut keragaman hayati 88% species laut telah terpengaruh kontaminasi plastik dilautan.
Pernyataan tersebut relevan untuk mendedah pada sistem pemilu demokrasi kita saling berkait dalam jurang kerusakan lingkungan. Konteksnya sebagai diskursus konsep demokrasi hijau dan pelaksanaan demokrasi negara demi keberlanjutan lingkungan di masa depan.
•Demokrasi dan Kepedulian Politik Lingkungan
Turunnya kualitas lingkungan hidup harus dipahami bahwa permasalahan tersebut bukan persoalan teknis, akan tetapi kepada proses politik dari aktor yang terkait kepentingan pada resources. Jadi perubahan lingkungan adalah bentuk politicised environment.
Mengutip Bryant, (2000) bahwa kerusakan lingkungan dapat dilihat dari akar sumber politiknya (political resources), Kondisi (konflik aktor) dan dampak terhadap ketimpangan sosialnyasosialnya
Politisi daerah dan politisi nasional punya andil didalamnya, Kasus pertambangan, Illegal logging dan masalah lain terkait pengelolaan SDA dapat dilihat dalam perspektif ini.
Realitas ini harusnya menjadi pilar kesadaran bersama partai politik dan secara bersama menyuarakan pentingnya kesadaran politik lingkungan. Karena keprihatinan bagi masyarakat modern dalam persektif demokrasi yang telah terbangun cenderung melahirkan cara demokrasi yang merampas dan abai dalam kelestarian lingkungan, bahkan manifestasi sistem demokrasi tersebut cenderung mendukung degradasi lingkungan hidup.
Partai politik akan berperan besar membangkitkan ideologi keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan. Dengan demikian kehadiran partai politik dapat membuka ruang politik terpinggirkan sebagai agenda program perjuangan politiknya meskipun degradasi lingkungan hidup menjadi gejala represi struktural dan kecenderungan didiamkan.
Partai politik menjadi motor penggerak sebab dibelakangnya ada massa pendukung dan simpatisan dengan memobilisasi untuk melakukan kampanye poltik agar program politiknya diterima oleh masyarakat pemilihnya secara luas.
Meskipun dalam pratiknya masih banyak ditemukan alat peraga kampanye (APK) berbahan plastik (polimer sintetis) yang menghasilkan beragam timbunan “sampah politik” dan persoalan lain yang makin menambahi beban ekologis.
Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah secara bersama, Mengapa praktik berdemokrasi belum menunjukkan keberpihakan pelestarian lingkungan bahkan belum jadi program visioner perjuangan (gerakan) politiknya.
•Komitmen bersama sebagai kunci realisasi
UU terkait pemilu belum mencantumkan azas penting tentang ramah lingkungan namun UUD 1945 sudah mengaturnya. Peraturan teknis seolah-olah menjadi terabaikan meskipun ada celah dan ruang yang memungkinkan KPU dan Bawaslu membuat detail aturan konsep ramah lingkungan.
Dalam konstitusi hijau (Green Constitution) masa depan pemilu Indonesia sangat mungkin dijadikan dasar pelaksanaan pemilu sebab UUD 1945 dalam Pasal 28 H ayat (1) telah mengatur perlunya penciptaan lingkungan hidup yang baik, Sehat sebagai hak-hak masyarakat.
Konsep kedaulatan ekokrasi diharapkan bisa digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu mendatang, Agar dapat menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan dan terciptanya platform green election bersama. Konsep ini berinterseksi dengan e-election dan e-campaign, yang implementasinya bisa dilakukan jika detail regulasi ada.
Kemudian green election dapat dilakukan asimetris dan diberlakukan pada daerah-daerah tertentu secara perlahan dan meluas.
Kelahiran konsep green election merupakan sebuah refleksi dan telaah kritis terhadap sistem demokrasi kita yang secara nyata telah melahirkan banyak ketimpangan secara ekologis dan sosial yang sudah mendarah daging.
Kehadiran partai hijau sangat perlu karena Indonesia mempunyai asset berupa sumber daya alam yang melimpah, Mempunyai pondasi politik lingkungan kokoh dan kuat. Dampak politik lingkungan yang lemah terlihat dari out-put kebijakan investasi pemerintah yang terlalu longgar memberikan kesempatan pemilik modal mengeksploitasi SDA secara tak terkendali.
Meskipun tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Bahkan kesadaran aspek ramah lingkungan tidak pernah serius dijadikan landasan dasar semua pihak dalam program politiknya.
Padahal, Indonesia telah membuat beragam kesepakatan dan perjanjian dalam skala nasional serta global berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Dalam konteks, green politic dan green party secara visioner diusung jadi program politik pada ranah politik Indonesia kekinian.
Keberadaanya dibutuhkan sebagai jalan dan media penyelesaian dampak persoalan kerusakan lingkungan.
Esensinya, Partai-partai politik bertarung merebut kekuasaan secara demokratis tidak mengorbankan lingkungan demi kekuasaannya.
Maka green election menjadi langkah penting diwujudkan dalam membangun demokrasi ramah lingkungan. Jika konsep green democracy menjadi bentuk kesadaran dan keberpihakan maka green election secara nyata tumbuh subur di Indonseia.
Penciptaan Pemilu ramah lingkungan harus dimulai dengan membangun narasi bersama bahwa issue lingkungan hidup adalah hal penting dan menjadi prinsip hidup berbangsa dan bernegara, Kehadiran media massa sangat penting dibutuhkan.
Sehingga pelaksanaan pemilu ramah lingkungan dapat terealisasi jika koordinasi dan dukungan kuat dari pemerintah, DPR, LSM, Media massa dan masyarakat sipil ikut menguat.
Tanpa koordinasi yang kuat, Fase persiapan pelaksanaan pemilu ramah lingkungan tidak bisa berjalan dan konsep pemilu ramah lingkungan tidak dapat direalisasikan. Dalam perspektif penyelenggara harus memaknai pemilu tak sekedar proses administratif dan elektoral. Karena pemilu yang ramah lingkungan akan membawa manfaat besar bagi perekonomian dan kondisi sosial serta politik di suatu negara.
Konsistensi akan menjadi kunci dasar meskipun ada faktor lain perlu diperhatikan untuk menciptakan pemilu ramah lingkungan. Faktor bahan material, Media transportasi, Konsumsi energi, Sistem tata kelola sampah. Pengelolaan faktor-faktor itu berdampak dimungkinkannya pemilu ramah lingkungan terselenggara secara berkesinambungan.
Kemudian menitikberatkan aspek lingkungan (green procurement) dengan mengurangi pola konsumsi yang bersifat boros energi dirubah dengan penggunaan barang-barang hemat energi dan mengadopsi tata kelola sampah (sustainability) dalam skala kecil dan besar untuk mendukung penerapan reduce, reuse, recycle dan replace merupakan strategi terbaik menangani sampah.
Studi komparasi pada sektor lain sangat dibutuhkan, Misal dalam sektor industri, Ada penghargaan khusus kepada pengusaha yang menjalankan bisnisnya dengan menitikberatkan aspek pelestarian lingkungan. Adanya program penganugrahan Adipura dan Adiwiyata di sektor pemerintahan dan pendidikan.
Memberikan penghargaan kepada pihak-pihak lain yang secara konsisten ikut aktif terlibat mengurangi dampak buruk pemilu terhadap masalah lingkungan (LSM, Media massa, Perorangan). Dengan penghargaan ini diharapkan menjadi citra rasa baru dalam dunia politik di Indonesia yang berkesinambungan dan hijau.
•Penulis IAI Arsitek dan Penulis Buku Stensil Arsitektur Proses
Tinggal di Yogyakarta