2025-11-11 16:04

Soeharto dan Polemik Gelar Pahlawan || Oleh Bachtiar Effendy S.I.Kom

Share

SAAT INGATAN dipaksa lupa setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Diberbagai tempat, kita melihat upacara, baliho, dan pidato tentang semangat perjuangan. Namun, di balik semua seremoni itu, muncul pertanyaan sederhana tapi penting:

Siapa sebenarnya pahlawan sejati.
Setiap kali wacana pemberian gelar “pahlawan nasional kepada Soeharto” mencuat, publik kembali dihadapkan pada pertanyaan moral: apakah seorang pemimpin otoriter yang sarat pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pembungkaman kebebasan pantas disebut pahlawan?

Jawabannya tegas: “tidak layak” Soeharto memang tokoh besar dalam sejarah Indonesia, tetapi besar tidak selalu berarti mulia.

Ia adalah simbol kekuasaan lama yang diwarnai dengan ketakutan, darah, dan kebohongan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade.

Warisan Pahit di Balik “Pembangunan”
Tak bisa dipungkiri, pada masa awal pemerintahannya, Indonesia sempat mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. Infrastruktur dibangun, swasembada pangan dicapai, dan stabilitas politik relatif terjaga. Namun, semua pencapaian itu memiliki harga sosial yang sangat mahal.

Di balik slogan “pembangunan nasional”, Soeharto menjalankan politik otoriter dan militeristik. Demokrasi dipangkas menjadi formalitas belaka. Pers dikontrol ketat, partai politik dilebur demi “stabilitas”, dan suara kritis dibungkam. Mereka yang berani berbeda pandangan dicap musuh negara, disingkirkan, bahkan dipenjara tanpa pengadilan.

Pembangunan ekonomi yang sering dibanggakan itu pun ternyata rapuh, karena berakar pada *korupsi, kolusi, dan nepotisme*. Kekuasaan ekonomi terpusat di tangan keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Transparency International (2004) mencatat, Soeharto diduga menyelewengkan dana negara sebesar *US$ 15–35 miliar*, menjadikannya salah satu pemimpin paling korup di dunia.

●Darah di Balik Kekuasaan
Soeharto tidak hanya meninggalkan catatan buruk soal korupsi, tetapi juga catatan hitam tragedi  kemanusiaan. Peristiwa Tragedi 1965-1966 menjadi noda terbesar dalam sejarah bangsa: ratusan ribu warga yang dituduh komunis dibunuh tanpa proses hukum. Banyak di antaranya hanyalah petani, buruh, atau guru biasa yang menjadi korban fitnah politik.

Tragedi serupa terjadi di Timor Timur, Aceh, dan Papua wilayah yang menjadi saksi penderitaan rakyat akibat operasi militer. Laporan berbagai lembaga HAM, termasuk Amnesty International dan Komnas HAM, menunjukkan pola kekerasan yang sistematis dan terencana. Pahlawan seharusnya mengorbankan diri untuk rakyat, bukan menumpahkan darah rakyat demi kekuasaan.

Tidak Sesuai Kriteria Pahlawan Nasional
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pahlawan nasional adalah seseorang yang:
▪︎Berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.
▪︎Memiliki integritas moral tinggi.
▪︎Tidak pernah melakukan tindakan tercela atau mencederai perjuangan bangsa.

Jika diukur dengan kriteria ini, Soeharto tidak memenuhi syarat moral maupun hukum*. Ia mungkin berjasa dalam bidang tertentu, tetapi dosa politik dan kemanusiaannya jauh lebih besar dari jasanya.

Menobatkannya sebagai pahlawan bukan hanya penghinaan terhadap para korban, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diperjuangkan bangsa ini.

Bahaya Melupakan Luka Sejarah
Masalah utama bangsa ini bukan hanya korupsi atau pelanggaran hukum, melainkan amnesia sejarah. Kita terlalu mudah melupakan penderitaan masa lalu dan terlalu cepat memaafkan tanpa mengadili.

Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti membiarkan sejarah ditulis ulang oleh kepentingan politik kekuasaan,, bukan oleh kebenaran.

Sejarah tidak boleh ditulis oleh mereka yang berkuasa, tetapi oleh nurani rakyat yang pernah menjadi korban. Generasi muda perlu diajak memahami bahwa pembangunan yang dicapai melalui penindasan bukanlah kemajuan, melainkan penjajahan dalam bentuk baru.

Hormati Kebenaran, Bukan Kekuasaan
Soeharto memang bagian penting dari sejarah bangsa, tetapi ia bukan teladan moral dan kemanusiaan. Mengakui kesalahannya bukan berarti menolak sejarah, melainkan menegakkan kebenaran sejarah itu sendiri.

Jika gelar pahlawan diberikan tanpa menimbang nurani dan keadilan, maka gelar itu kehilangan maknanya. Karena itu, untuk menghormati jutaan rakyat yang menjadi korban rezim Orde Baru,

Soeharto Tak Layak Disebut Pahlawan
Yang layak kita kenang sebagai pahlawan adalah mereka yang melawan ketakutan, membela keadilan, dan menjaga agar kebenaran tidak dikubur oleh propaganda. Meskipun Soeharto berperan dalam pembangunan infrastruktur, stabilitas politik, dan swasembada pangan pada masa tertentu.

Jejak pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan korupsi besar-besaran membuatnya tidak layak dianggap sebagai pahlawan nasional. Ia lebih tepat dipandang sebagai tokoh kontroversial yang meninggalkan warisan kompleks antara pembangunan dan penindasan. ●Penulis Aktivis 98 dan Wakil Ketua Gerakan Relawan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *