2025-05-25 23:21

Arogansi Heru Budi Hartono Mulai Terlihat || Catatan Nazar Husain

Share

PJ GUBERNUR DKI Jakarta Heru Budi Hartono pengganti Anies Baswedan belakangan ini dituding melanggar mekanisme sistem kepemerintahan dan tak mewakili aspirasi rakyat.

Heru Budi Hartono baru saja genap sebulan sudah mengambil kebijakan “dadakan” dengan mencopot Direktur Utama (Dirut) MRT Mohamad Aprindy.

Sontak keputusan itu menjadi polemik, dan melanggar UU No 30 tahun 2014 Pasal 14 ayat 7 UU Administrasi Pemerintahan melarang Pj Kepala Daerah membuat kebijakan dalam kepegawaian dan alokasi anggaran.

Bunyinya; Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

Bahkan Heru Budi Hartono dituding pula kepanjangan tangan pemodal atau gubernur oligarki. Sehingga keputusan mengganti pejabat lama, sangat disesalkan.

Dengan memberhentikan Dirut MRT Jakarta yang diangkat baru Juli 2022 lalu, dengan pejabat baru maka Pj Gubernur “Give Away” telah melanggar aturan negara.

Sehingga Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dianggap hanya dipilih untuk membersihkan “orang-orang Anies”. Etika kepemerintahannya sebenarnya salah, dengan menerapkan “kekuasaan yang berlebihan”.

Seharusnya Heru Budi Hartono terlebih dahulu melakukan pembinaan dan pengawasan secara menyeluruh agar tidak berkesan arogansi kepemimpinan, yang mengikuti selera oligarki.

Pergantian pejabat-pejabat di suatu wilayah, sebenarnya sah adanya, ketika pergantian pucuk pimpinan. Ini hukum alam, namun bila pergantian itu hanya menjadi pembersihan orang orang “titipan” pejabat, sangat terkesan “dendam kesumat”.

Heru Budi Hartono harus belajar memahami kondisi dan situasi agar kebijakannya tak terkesan terburu-buru dan dendam semata.

Aspirasi publik juga perlu didengar, agar keseimbangan keputusan tak menjadi liar serta sangat menakutkan bagi pejabat-pejabat DKI.

Mengambil keputusan dengan mencopot pejabat lama, pasti dianggap arogansi kekuasaan, bukan keputusan pertimbangan kinerja tetapi mengarah ke “dendamjabatan”.

Ingat DKI Jakarta bukan “Kampung Kecil” tetapi “Kampung Besar” barometer kepemerintahan di Indonesia. *****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *