
Kecewa Reaksi Cendekiawan Muslim NU || Oleh Dimas Supriyanto
MEREKA idola saya selama ini. Saya menjadikan sosok sosok – yang wajahnya tampil di sini–rujukan dalam topik Islam moderat. Dan masih mengagumi pengetahuan mereka, hingga saya menulis risalah ini. Dengan sebagiannya saya pernah ‘sowan’ dan ngaji, langsung dan tidak langsung. Membaca artikel dan buku yang mereka tulis , mentakzimi apa yang mereka ceramahkan.
Tapi – menyimak reaksi mereka atas kasus “Xpose Uncencored” dari Trans7, sungguh mengecewakan. Over reactive. Sangat berlebihan.
Di lapisan bawah; Banser, GP Ansor sudah menjelma jadi FPI–demo, persekusi dan ancam menggorok leher–sedangkan di atas/elitenya tak berbeda. Menutup pintu maaf. Mereka semua mensucikan pesantren dan kiai–melebihi agama dan nabi.
Tayangan di TransTV itu buruk dan layak dibredel – memang. Yang terlibat pantas dituntut dan diadili. Setuju! Tapi reaksi Nadliyin juga berlebihan. Pesantren tidak kiamat karena tayangan di teve itu.
Selalu ada saja oknum di satu korps dan lembaga kita-kita sama sama tahu. Banyak tentara, polisi, hakim, guru, dokter diadili dan masuk bui. Tapi tak ada gagasan membubarkan TNI, Polri, MA, PGRI dan IDI. Menggeruduk dan menyegel TransMart, demo di Bank Mega dan usulan mencabut izin Trans TV sungguh absurd!
Saya memposting tulisan ini dengan kesedihan dan mengelus dada.
Mereka, para cendekiawan Islam ini – sudah menjadi dosen, mengajar di universitas ternama di luar negeri, menulis di jurnal bereputasi, bicara tentang Islam progresif, tampil di seminar dengan jas, sesekali mengutip Derrida dan Al-Ghazali dalam satu napas. Bahkan menawarkan Islam Liberal.
Namun begitu ada orang luar mengkritik lembaga pesantren, mereka refleks berubah jadi penjaga gerbang surga. Nada akademik lenyap, berganti seruan penuh amarah: “Jangan ganggu pesantren dan warisan kiai!” — Seolah pesantren ruang suci yang hanya boleh disentuh oleh tangan yang sudah berwudu.
Para intelektual Muslim kita ini sudah ada di alam modern — atau setidaknya tampak modern. Mereka tak lagi hidup di lingkungan pesantren.
Mereka mengajar di universitas negeri dan luar negeri yang punya reputasi tinggi, tinggal di rumah ber-AC, keluarganya menikmati kehidupan modern – standar internasional.
Tapi – ironinya semangat feodalisme pesantren tetap mereka rawat seperti pusaka. Ketika ada wacana reformasi kurikulum, mereka buru-buru mengutip sejarah: “Pesantren sudah ada sejak berabad-abad lalu dan telah melahirkan banyak tokoh besar!”
Kalimat itu terdengar gagah, tapi juga malas. Karena prestasi masa lalu dijadikan tameng untuk menolak perubahan masa kini.
Kaum muslim abangan seperti saya (dan kami) sudah meninggalkan feodalisme. Jalan jongkok (“mlaku ndodok”) tinggal jadi tontonan di pertunjukkan ketoprak!
Mereka lupa, umur panjang tidak otomatis berarti relevansi. Bangunan piramida di Mesir juga sudah ribuan tahun berdiri, tapi tak satu pun orang mau tinggal di dalamnya.
Bertahan lama bukan bukti keunggulan, bisa jadi justru tanda keengganan berubah. Para intelektual itu lebih memilih nostalgia daripada evaluasi.
Mereka memperlakukan pesantren bukan sebagai lembaga pendidikan, tapi tempat suci yang tak boleh disentuh logika modernitas.
Kritik terhadap sistem pengajaran dianggap serangan terhadap agama. Pertanyaan tentang kurikulum disamakan dengan penghinaan terhadap kitab kuning.
Padahal kitab tidak salah — yang salah cara membacanya.
Tapi – siapa berani bicara begitu di hadapan kiai yang dianggap “mursyid” dan “pewaris nabi”?
Bagi sebagian intelektual Muslim, derajat nabi mungkin sudah wafat, tapi auranya masih bisa mereka titipkan pada sosok kiai.
Kiai bukan hanya guru; ia jadi simbol keabadian otoritas. Mengkritiknya, ternyata, dianggap sama dengan menentang langit.
Sikap ini ironis bagi orang-orang yang mengaku rasional dan terdidik. Mereka bicara tentang akuntabilitas publik, tapi diam saat pesantren menolak audit dana hibah.
Mereka mendukung kurikulum berbasis sains, tapi membiarkan pesantren menganggap fisika dan biologi pelengkap iman.
Mereka mengutip ayat tentang berpikir, tapi takut berpikir tentang struktur kekuasaan di balik sarung dan surban.
Rasionalitas mereka berhenti tepat di pagar pesantren.
Ada semacam romantisisme yang memabukkan. Pesantren dianggap benteng moral, satu-satunya lembaga yang masih menjaga nilai keikhlasan di tengah kapitalisme pendidikan.
Itu mungkin benar — sampai kita sadar bahwa sebagian pesantren juga mulai bermain di gelanggang politik, proyek tambang, dan dinasti keluarga.
Tapi lagi-lagi, para intelektual itu pura-pura tak lihat.
Mereka memilih kalimat lembut seperti “perlu pembenahan internal,” bukannya “ada penyimpangan serius.”
Kritik mereka memakai bedak akademik, tak sampai menusuk.
Padahal kalau bukan mereka yang bicara jujur, siapa lagi?
Sementara itu, banyak pesantren menolak inspeksi keamanan bangunan, mengabaikan aspek kesehatan santri, dan tetap bertahan dengan kurikulum yang lebih banyak menghafal daripada berpikir.
Dan ketika ada tragedi — pelecehan santriwati, korupsi APBD, atau bangunan rubuh — yang pertama kali mereka lakukan bukan refleksi, tapi penyangkalan. Denial. Ketersinggungan – sensitif. Lalu mengungkit jasa besar para leluhur dan nenek moyang.
“Jangan generalisasi, pesantren telah banyak berjasa!” menjadi kalimat andalan pembelaan.
Ya, benar. Tapi jasa masa lalu tidak otomatis menghapus tanggung jawab masa kini.
Apa gunanya gelar doktor, kalau keberanian Anda terhenti di gerbang pesantren?
Apa artinya bicara tentang “maqasid syariah” dan keadilan sosial, kalau Anda tidak berani menyebut bahwa sebagian lembaga keagamaan sudah kehilangan akal sehatnya?
Bukankah Nabi sendiri menerima kritik, bahkan dari sahabatnya?
Lalu mengapa kiai hari ini diperlakukan seperti nabi yang tak boleh disentuh dan ditanya?
Mungkin karena sebagian intelektual Muslim kita masih takut kehilangan “tempat pulang” simbolik — takut kehilangan akses moral ke komunitas lama yang melahirkan mereka.
Mereka ingin modern, tapi tetap diterima di dunia lama.
Mereka ingin rasional, tapi tidak mau kehilangan legitimasi spiritual.
Dan di persimpangan itu, intelektualitas mereka tersandera rasa sungkan.
Padahal, mengkritik bukan berarti mengingkari.
Menuntut pesantren berbenah bukan berarti menghina ulama.
Justru karena mencintai, seseorang harus berani menegur.
Tapi cinta mereka, rupanya, berhenti di perbatasan rasa hormat yang salah alamat.
Maka pesantren tetap disucikan, kiai tetap dimitoskan, dan kritik tetap dianggap dosa.
Sementara intelektual Muslim kita — yang mestinya jadi cahaya akal di zaman gelap — memilih menjadi lilin kecil yang takut padam di hadapan bayangan besar masa lalu.
Mereka tetap menjadi rujukan saya dalam topik moderasi Islam – tapi tidak dalam kasus yang sedang ramai ini. ***
●Penulis adalah jurnalis pensiunan. Tinggal di Kota Depok