
Melihat Kasus Arya Daru dari Perspektif Kriminologi: Fakta, Teori dan Penghormatan || Oleh Syarif Hidayat Pangorieseng
KASUS kematian Arya Daru Pangayunan, diplomat muda dari Kementerian Luar Negeri, yang ditemukan meninggal di kamar kosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, telah menjadi perhatian publik dan menimbulkan banyak tanda tanya.
Sebagai mahasiswa kriminologi tingkat akhir, saya melihat kasus ini bukan sekadar peristiwa tragis, tapi juga pelajaran berharga bagaimana sebuah kejadian kompleks harus dipahami secara utuh, melibatkan aspek sosial, psikologis, budaya, dan ilmiah.
Berdasarkan laporan resmi dari Polda Metro Jaya, korban ditemukan dalam kondisi kamar yang terkunci rapat dengan tiga lapis kunci elektronik dan manual, tanpa tanda kerusakan paksa.
Kepala korban dililit lakban berwarna kuning, dan pemeriksaan forensik mendalam tidak menemukan jejak DNA atau sidik jari selain milik korban sendiri pada lakban maupun barang-barang lain di tempat kejadian.
Rekaman CCTV dari 20 titik lokasi menunjukkan aktivitas korban yang normal, tanpa indikasi gangguan. Pemeriksaan digital forensik mengungkapkan riwayat komunikasi korban dengan layanan dukungan emosional serta indikasi keinginan bunuh diri yang sudah ada sejak 2013 dan semakin kuat sejak 2021.
Pemeriksaan psikologi forensik menunjukkan adanya ciri kepribadian perfeksionis dan gejala depresi berat, sedangkan hasil otopsi dan toksikologi mengonfirmasi sebab kematian akibat gangguan pertukaran oksigen di saluran pernapasan atas, yang menyebabkan kematian lemas, tanpa ditemukan zat berbahaya.
Dalam kerangka kriminologi, teori Routine Activity mengajarkan bahwa kejahatan terjadi saat pelaku, korban, dan kondisi tanpa pengawasan efektif bertemu. Kasus ini yang terjadi di lingkungan elit dengan pengamanan ketat mengingatkan kita bahwa risiko dan kompleksitas tak selalu tampak dari luar.
Teori Viktimologi mengingatkan bahwa korban adalah bagian dari jaringan sosial dengan karakteristik yang memengaruhi risiko yang dihadapi. Profesi diplomat membawa tekanan dan tantangan khusus yang penting diperhitungkan dalam analisis kasus ini.
Pendekatan ilmiah dan analisis kriminologis sangat penting dalam penyelidikan ini. Dr Lucky Nurhadiyanto, Kaprodi Kriminologi Universitas Budi Luhur, mengajak kita memberi ruang bagi aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional dan metodologis, serta tidak terburu-buru menarik kesimpulan. Sikap kritis yang dibarengi rasa hormat adalah kunci agar kebenaran bisa terungkap dengan utuh.
Selain fakta fisik, lakban berwarna kuning yang melilit kepala korban juga menjadi perhatian dari sisi budaya dan simbolisme. Dalam budaya Indonesia, warna kuning sering diasosiasikan dengan tanda duka cita. Ini menjadi aspek yang layak dikaji secara ilmiah, namun bukan sebuah kesimpulan, melainkan bagian dari ‘bahasa’ di tempat kejadian yang harus dipahami secara hati-hati dan objektif.
Hilangnya handphone korban juga menjadi aspek penting dalam penyelidikan, yang mungkin terkait dengan kondisi psikologis korban. Namun, semua hal ini tentu masih harus dibuktikan melalui proses penyelidikan yang komprehensif oleh pihak berwenang.
Saya percaya aparat kepolisian bekerja dengan profesional dan dedikasi tinggi.
Saya juga ingin menyampaikan rasa hormat dan empati yang mendalam kepada keluarga, istri, anak, dan seluruh sanak saudara Arya Daru. Kehilangan mereka adalah duka yang sangat berat, dan kita semua perlu memberi ruang serta dukungan bagi mereka.
Sebagai mahasiswa kriminologi, saya menyadari bahwa keputusan akhir ada di tangan aparat penegak hukum. Namun, ilmu kriminologi memberikan alat untuk memahami peristiwa kriminal secara lebih mendalam, sekaligus mengajak masyarakat bersikap objektif dan kritis secara sehat.
Semoga pendekatan ilmiah ini membawa pemahaman yang lebih baik, dan kita menanti hasil penyelidikan resmi yang akan memberi kejelasan dan keadilan bagi keluarga serta bangsa. *
●Penulis Mahasiswa Kriminologi Tingkat Akhir