
Menata Transportasi Publik Tanpa Polemik || Oleh Dunih Mutani
BARU-BARU ini, sembilan warga jadi korban Laka Lantas Jaklingko (Mikrotrans) yang ugal-ugalan di Cengkareng, Jakarta Barat. Belum hilang rasa waswas warga Jakarta terhadap Jaklingko, sopir Jaklingko kembali berulah.
Seorang ibu yang berusaha mengingatkan sopir Jaklingko agar tidak ugal-ugalan saat melintasi Andara, Lebak Bulus, justru disuruh turun dari angkutan tersebut.
Seburuk itukah pengelolaan transportasi publik di Jakarta?
Semoga saja tidak, karena banyak masyarakat yang terbantu dari kehadiran moda transportasi gratis tersebut. Ulah sopir ugal-ugalan membuat Jaklingko dicap tak ada bedanya dengan “almarhum” Metromini.
Persoalan gaji yang dinilai kurang layak untuk hidup di kota besar, ketiadaan Jaminan Hari Tua (JHT) serta waktu libur yang minim dalam sebulan adalah momok bagi sopir Jaklingko di tengah tuntutan target 200 kilometer perjalanan dalam sehari lantaran sistem penggajian dihitung berdasarkan capaian kilometer.
Dengan sistem kerja dua shift pagi dan siang untuk dua sopir, bukan perkara mudah bagi sopir di tengah kemacetan Jakarta yang tiada berkesudahan mengingat jumlah kendaraan bermotor di Jakarta jumlahnya sudah mencapai 24.356.667 unit (data Korlantas Polri Mei 2024), dengan rasio pertambahan kendaraan 3.000-4.000 unit per hari, sedangkan pertumbuhan jalan hanya 0,01% per tahun.
Alih-alih mengurangi kemacetan dengan kebijakan Gubernur Pramono Anung yang mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov Daerah Khusus Jakarta (DKJ) naik angkutan umum di hari Rabu, justru menambah beban penumpang bagi Jaklingko dan Transjakarta karena ada tambahan penumpang wajah baru di hari tersebut.
Sebab, jumlah armada bus Transjakarta hanya 4.370 unit dan Mikrotrans 2.968 unit. Tidak sebanding dengan jumlah ASN Pemprov DKJ yang mencapai 46.711 orang.
Belum lagi jumlah penglaju dari kawasan aglomerasi (Bodetabek) yang jumlahnya diperkirakan mencapai 1,3 juta orang. Tentu tidak semua ASN tersebut naik Jaklingko dan bus Transjakarta, karena ada juga yang naik Commuterline, sepeda, transportasi online, dan moda transportasi umum lainnya.
Menata transportasi publik bukanlah sekadar memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke moda transportasi publik dan transportasi umum.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Pemprov DKJ.
Pertama, perencanaan. Semua elemen dan pemangku kepentingan (multiorganisasional) perlu duduk bersama merumuskan perencanaan transportasi yang efektif agar kemacetan, polusi udara, dan masalah lingkungan lainnya bisa diatasi.
Dengan kata lain perubahan terjadi karena adanya penerapan kebijakan lintas sektoral yang melibatkan unsur pemerintahan (public sectors) maupun swasta (private sectors). (D.J. Calista dalam SS Nagel, 1994: 118-120).
Terlebih mengacu pada Undang-undang No2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta pada Bagian Kelima Pemprov DKJ memiliki Kewenangan Khusus di Bidang Perhubungan meliputi; (a) lalu lintas dan angkutan jalan, (b) pelayaran, dan (c) perkeretaapian.
Perencanaan transportasi ditujukan untuk menghasilkan keterpaduan antara transportasi publik di Jakarta dengan moda transportasi milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah aglomerasi agar terhubung dengan simpul stasiun. Keterpaduan semacam inilah yang agak terabaikan di masa lalu.
Tengoklah Terminal Kalideres yang lokasinya lumayan jauh dari Stasiun Kalideres atau Terminal Grogol yang lokasinya cukup jauh dari Stasiun Grogol.
Di lain tempat, Stasiun Rawabuaya yang memiliki simpul dengan Terminal Rawabuaya lantaran lokasinya berdekatan dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki, justru tak termanfaatkan dengan baik.
Terminal yang dulunya digadang-gadang bisa menggantikan peran Terminal Kalideres, nasibnya kini bak kuburan bangkai bus korban kecelakaan lalu lintas. Itu menandakan ada perencanaan yang kurang matang sehingga hasilnya pun tidak optimal.
Kedua, kapasitas jaringan transportasi. Kapasitas jaringan transportasi harus memiliki kemampuan mengangkut penumpang dengan volume besar.
Kebutuhan penambahan jalur Mass Rapid Transit (MRT) fase III hingga ke Balaraja, sebagai lanjutan MRT fase II Bundaran HI-Kampung Bandan 8,1 km, dan fase I Lebak Bulus-Bundaran HI 15,2 km tidak bisa ditunda lagi.
Moda ini selain dari segi waktu efisien, dari segi kapasitas juga besar karena bisa mengangkut 412.000 penumpang per hari. Belum lagi dampaknya bisa menurunkan emisi CO2 sekitar 7 persen atau 93,663 ton.
Memang biaya pembangunannya tidak kecil. Untuk membangun MRT fase 1 saja membutuhkan Rp16 triliun.
Begitu pun membangun moda Light Rapid Transit Jabodebek sepanjang 44,3 km setidaknya membutuhkan Rp20 triliun lebih.
Namun, dengan kapasitas daya angkut yang besar Pemprov DKJ bisa “merayu” penumpang dengan menerapkan skema Public Service Obligation (PSO) atau subsidi.
Itu artinya, operator/pemerintah tidak mencari untung dari penjualan tiket malah justru mensubsidinya, karena tidak ada sejarahnya perusahaan untung besar dari penjualan tiket berharga mahal.
Tiket dibuat semurah mungkin dengan skema PSO agar masyarakat berbondong-bondong menggunakan transportasi publik.
Alfred Marshall, ekonom Inggris yang kerap dikaitkan dengan teori Aglomerasi dalam Principles of Economic (1890) menyebut konsentrasi perusahaan dan industri dalam satu kawasan dapat menciptakan keuntungan signifikan.
Teori itu sudah dibuktikan dengan kesuksesan pengelolaan KRL yang kini untung besar lewat pengelolaan parkir di stasiun, penyewaan reklame untuk ruang promosi/iklan, dan penyewaan gerai.
Dengan ruang yang ada Pemprov DKJ juga bisa memberdayakan UKM menjual makanan maupun oleh-oleh khas Jakarta.
Pengembangan transportasi publik hingga ke wilayah barat juga beririsan dengan penyediaan infrastruktur tol baru Semanan-Sunter, Semanan-Balaraja hingga terhubung dengan tol Tangerang-Merak.
Investasi infrastruktur ini juga harus didukung dengan investasi teknologi berupa pengembangan sistem transportasi otonom, sistem manajemen lalu lintas cerdas, dan sistem pembayaran digital.
Terakhir adalah aksesibilitas transportasi publik. Transjakarta dikonsep memiliki konektivitas dengan pusat keramaian seperti pasar, rumah sakit, sekolah, dan rusunawa. Tapi, sayangnya tidak semua unsur pendukungnya sesuai dengan kebutuhan penumpang.
Sejumlah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Transjakarta memiliki panjang yang tak biasa.
Lihat saja JPO halte Cempaka Timur-Cempaka Mas 2, JPO Semanggi-Benhil, dan Skywalk Kebayoran Lama yang menghubungkan KRL dan halte Transjakarta Velbak (koridor 13) dan halte Pasar Kebayoran Lama (koridor 8) yang rata-rata panjangnya 400-500 meter.
Butuh perjuangan untuk melewati JPO tersebut, karena meski berada di usia produktif tidak semua orang punya fisik prima melewati JPO macam Benteng Takeshi tersebut.
Transportasi publik memang bukan hak milik yang bisa dibuat sesuai selera publik, tapi pembangunannya yang asal membuatnya hanya menyisakan polemik. ●Penulis Redaktur harianpelita.id