
Pemilu 2024 dan Momentum Keberpihakan || Oleh N Riri Hananta. ST IAI
“JIKALAU anda ingin dekat dengan Tuhan, maka dekatilah rakyat”
Khalil Gibran, menggubahnya menjadi puitis sebagai ungkapan pembuka tulisan ini memandang wujud pengabdian kita kepada Tuhan merupakan wujud pengabdian sesama umat manusia.
Bahkan bentuk pengabdian pemimpin bangsa sebagai wujud pengabdian kepada rakyatnya. Pemilu demokrasi akan kembali hadir saat kondisi ekonomi, sosial politik belum kondusif dalam tatanan berdemokrasi.
Penderitaan masyarakat masih di mana-mana, situasi ekonomi masih gayut, nilai tukar rupiah makin melemah, perubahan iklim dan kondisi lingkungan hidup makin merosot, ancaman penyakit cacar monyet, darurat rabies, kenaikan harga bahan pokok, sebagai realitas rentetan situasi yang samar diterjemahkan.
Perputaran roda sistem tak dinamis telah menggoyahkan loyalitas manusia dalam moralitas dan agama. Bahkan sudah membutakan jalan kebenaran dan kemuliaan yang tidak sanggup mencari jawaban sehat atas persoalan kemiskinan absolutnya.
Data BPS, Maret 2023 ada 25,90 juta penduduk Indonesia masih menjalani hidup di bawah garis kemiskinan.
Di antaranya ada pada kemiskinan absolut yang tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Ungkapan puitis Khalil Gibran menjadi begitu relevan sebagai makna tersirat dan anjuran agar selalu bersedekah, berbuat amal kebaikan untuk kemaslahatan umat manusia.
Sungguh sebagai momentum istimewa sekiranya pemilu 2024 dapat menghadirkan makna baru dalam solidaritas kemanusiaan untuk memihak dan membela rakyat miskin, yang lemah dan terpinggirkan oleh sistem kekuasaan yang tidak memihak rakyat kecil, apalagi untuk berposisi bersama-sama rakyat miskin.
Tapi, mengapa mesti rakyat miskin, yang lemah dan terpinggirkan oleh sistem kekuasaan?
Dalam struktur sosial masyarakat (apalagi yang tirani), kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor sistem negara yang kurang adil dan pada umumnya diderita oleh mereka yang kurang memiliki posisi daya tawar (bargaining) pada saat berhadapan dengan penguasanya.
Demokrasi kita masih mengalami distorsi, memanjakan elit-elit politik, sebagai rutinitas belaka, pemilu belum mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Pemilu pada pamrih demokrasi elektoral hanya membuahkan pemimpin (politisi) yang banyak tersandung kasus- kasus korupsi, birokrasi masih gemuk dan lamban melayani rakyatnya.
Pemilu 2024 merupakan momentum istimewa untuk berkonsolidasi mematangkan hakikat utamanya pilar demokrasi berbangsa dan keberpihakannya kepada rakyat miskin.
Bencana yang terjadi di kabupaten Yakuhimo, Papua merupakan contoh konkret dimana rakyat miskin yang serba tak enak, tak nyaman, serba kekurangan dalam bencana kelaparan.
Dengan pemilu, menjadi harapan untuk semua agar membuahkan para pemimpin bangsa yang semakin peka pada penderitaan rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik atas penderitaan rakyat sehingga keberpihakan para pemimpin jelas pada muaranya.
Pemimpin hasil pemilu diperumpamakan sebagai The Have, sementara rakyat miskin ibarat The Needy, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral, etis antara pemimpin pada rakyatnya.
Lalu, demikian dapat mendekatkan titik sentuh dan menyadarkan sekaligus menumbuhkan semangat akan kewajiban moral, etik, jiwa kemanusiaan dan ada keberpihakan pada rakyat miskin.
Rakyat dalam rangkaian pemilu akan menggunakan suaranya dan melaksanakan hak politiknya dengan menentukan pilihan calon pemimpinnya secara bebas dan langsung. Dalam demokrasi elektoral kampanye akan menjadi medium pendidikan politik rakyat dan mendekatkan calon pemimpin bangsa pada realitas persoalan rakyat miskin (bentuk sikap dermawan).
Maka sense, sikap dermawan berarti proaktif mendarmabaktikan sikap kenegarawannya pada rakyat yang diperlemah kondisinya. Terma “diperlemah kondisinya” merujuk pada kelompok rakyat miskin yang lemah, marginal dan tertindas.
Terma ini menjadi begitu penting karena kelemahan yang melekat pada rakyat miskin ini menurut perspektif Alquran disebabkan bukan oleh faktor alamiah yang melekat pada diri mereka (by nature, by accident), tetapi oleh faktor lain yang justru berada di luarnya (by design).
Dalam terma sosiologis disebut sebagai faktor struktural, dalam terma politik lebih diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoritarianisme, birokratik rente, represif, tiran, tidak pernah memihak apalagi menguntungkan rakyat miskin.
Dalam konteks inilah, pemilu semestinya membuahkan sikap dermawan para pemimpin bangsa kedepannya dan keberpihakannya kepada rakyat miskin, menumbuhkan sikap kenegarawanan, jiwa solidaritas kemanusiaan secara universal seperti menyantuni fakir miskin, duafa, yang lemah, yang serba kelaparan dan hidupnya terkoyak dengan setumpuk beban penderitaan yang selama ini membelit kehidupannya.
Pesan moral, kemanusiaan dan ideologis dalam rangkaian pemilu sungguh mengandung spirit solidaritas, yang sebenarnya hendak melatih calon pemimpin bangsa untuk menjadi lebih peka terhadap realitas sosial (to be sensitive to the reality).
Kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan yang selama ini diderita rakyat lemah, dengan memperoleh rujukan dan legitimasi dari pemilu yang kembali hadir. Pemilu, menjadi momentum istimewa untuk melakukan keberpihakan lebih kepada rakyat miskin dan lemah di negri ini.
Lantas, jika belakangan ini kita masih menyaksikan kemiskinan dan penderitaan kelaparan di negri ini, ada baiknya kita introspeksi diri, mawas diri, sekaligus berbenah, meskipun mungkin sudah terlalu lama pemimpin kita abai, sehingga terkesan menjadi satu klise seperti ungkapan pada bait puisi Khalil Gibran, diatas.
Sudahkah hasil pemilu dalam demokrasi elektoral Indonesia telah membuahkan pemimpin yang mempunyai keberpihakan kepada rakyat miskin secara konsisten dan sudah mampukah untuk mengejawantahkan esensi makna dan fungsi substantif demokrasi Pancasila di tengah derita rakyat miskin?.
•Kita bersama juga kelak yang akan menjawabnya.
•Penulis Arsitek & Penulis buku stensil arsitektur proses