2025-05-24 10:35

Tolak Tambang Martabe Aktivis Lingkungan Fokus Selamatkan Orangutan

Share

HARIAN PELITA — Sebanyak 190.000 dukungan datang dari berbagai belahan dunia untuk menuntut adanya perlindungan dan penghentian eksploitasi ekosistem Batang Toru.

Dukungan digalang melalui tantangan petisi ini diserahkan secara langsung oleh WALHI Sumatera Utara bersama WALHI Nasional dan Satya Bumi tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) kepada Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan pimpinan Agincourt di Jakarta.

Selain menyampaikan petisi, WALHI dan Satya Bumi juga melakukan aksi kreatif untuk menarik perhatian publik agar ikut mendukung gerakan penyelamatan Orangutan Tapanuli dan Biodiversitas di Ekosistem Batang Toru. Direktur WALHI Sumatera Utara, Rianda Purba dengan tegas menyatakan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang diakibatkan tambang emas Martabe.

Rianda menyoroti aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada Ekosistem Batang Toru dan mengancam kelangsungan hidup orangutan Tapanuli, salah satu spesies paling langka didunia.

“Tambang emas Martabe terletak di jantung Ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi orangutan Tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan,” terang Rianda, Minggu (2/3/2025).

Ia menambahkan, menurut pantauan WALHI Sumatera Utara, dalam 15 tahun terakhir, deforestasi disekitar tambang telah mencapai lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang merupakan
habitat penting bagi orangutan Tapanuli.

Selain di Jakarta, aksi juga dilakukan serentak di Medan, Sumatera Utara di depan kantor United Tractors, dengan tuntutan yang sama.

Sementara itu Friends of the Earth (FoE) dan Ekō yang tergabung dalam koalisi internasional, menyampaikan petisi secara langsung kepada Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. Jardine Cycle & Carriage Limited adalah perusahaan induk yang memiliki PT Agincourt Resources, perusahaan yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara.

“Hari ini, 190.000 orang dari seluruh dunia mengirimkan pesan yang sangat jelas dan
mendesak kepada Jardine Matheson dan Martabe: tidak ada jumlah emas yang sebanding dengan risiko terhadap masa depan orangutan paling langka di dunia. Orangutan Tapanuli bukan sekadar simbol, tetapi bukti nyata bahwa kehancuran keanekaragaman hayati akibat keserakahan korporasi bukanlah ancaman yang jauh di masa depan,” ujar Fatah Sadaoui, Direktur Kampanye Ekō.

Dari Jakarta hingga London dan di berbagai belahan dunia, kata Fatah, masyarakat menuntut korporasi seperti Jardine Matheson untuk bertanggung jawab dalam melindungi alam. Ia mengatakan, Jardine Matheson harus mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan orangutan Tapanuli sebelum terlambat.

Menurutnya orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru diantara kera besar yang teridentifikasi pada 2017 lalu terus mengalami ancaman besar lantaran dikepung berbagai industri ekstraktif, salah satunya tambang emas Martabe.Keberadaan Tambang Emas Martabe yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan memperburuk kondisi lingkungan dan merusak habitat alami Orangutan Tapanuli serta mengganggu keseimbangan Ekosistem Batang Toru.

Ekspansi tambang ini juga menyebabkan
deforestasi yang signifikan. Orangutan Tapanuli merupakan spesies yang paling terisolasi di Pulau Sumatera, hanya
ditemukan di lanskap Batang Toru yang mencakup wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Lebih lanjut, berbeda dari Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), Orangutan Tapanuli memiliki karakteristik unik.

Namun, sangat rentan dengan populasi kurang dari 800 individu. Dengan status “Critically Endangered” menurut IUCN, keberadaan spesies ini sangat terancam akibat hilangnya habitat yang disebabkan oleh deforestasi. Rencana Ekspansi Bahayakan Ekosistem Batang Toru. Saat ini, PT Agincourt Resources (AR), operator tambang emas Martabe, tengah berencana
membuka lokasi penimbunan atau Tailing Management Facility (TMF) baru di wilayah utara konsesi. Pembukaan ini tentu akan berdampak buruk pada Ekōsistem Batang Toru.

Berdasarkan penelusuran dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT AR, total luas TMF mencapai 195,2 hektar.
Pembangunan area TMF yang baru juga membutuhkan berbagai fasilitas tambahan yang akan membuka hutan di area Ekosistem Batang Toru, seperti pembangunan TMF Road Development (9,17 ha), Sedimen DAM TMF (86,90 ha), dan Buffer Area (291,73 ha).

Sehingga total rencana lahan yang akan dibuka seluas 583 hektar. Proses pembangunan fasilitas TMF akan dilakukan secara berkala dan dalam waktu yang panjang. Kondisi ini akan memperkecil fragmentasi atau pemisahan habitat yang akan meningkatkan kepunahan satwa.

Berdasarkan Permen LHK Nomor P.20/2018, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi
ditemukannya berbagai taksa, baik yang dilindungi atau tidak. Area lokasi tambang
merupakan habitat primata langka seperti siamang, simpai dan Orangutan Tapanuli.

Home range orangutan secara umum memerlukan sekitar 15 sampai 20 hektar dengan jelajah harian sekitar 750 sampai 1100 meter perhari. Sehingga, 195,2 hektar pembukaan lahan akan signifikan bagi habitat orangutan.

“Rencana pembangunan TMF walaupun berada di Area Penggunaan Lain (APL), namun secara tutupan lahan ini masih berupa hutan dan termasuk ke dalam key biodiversity area Ekosistem Batang Toru,” ungkap Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi.

Berdasarkan survey biodiversitas yang dilakukan secara bertahap pada tahun 2008, 2013, 2016, dan 2017, lanjut Riezcy, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi dengan kepadatan pohon yang tinggi dan terdapat beberapa spesies dilindungi, seperti siamang, simpai, dan orangutan Tapanuli.

“Sedangkan kegiatan penyiapan lahan untuk TMF ini akan membuka area berhutan menjadi area terbuka, sehingga ini akan berdampak terhadap pengurangan habitat orangutan, yang dapat menimbulkan kepunahan dalam jangka panjang,” beber Riezcy.

Dampak lainnya juga berupa penghilangan tutupan vegetasi dan struktur komposisi spesies flora terrestrial akibat pembukaan lahan dan hilangnya habitat fauna serta satwa dilindungi. Potensi kehilangan pohon untuk kebutuhan pembangunan TMF yaitu sekitar 185.884 pohon. Pembukaan area baru untuk TMF PT AR juga diproyeksikan akan merusak sumber air, mulai dari perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan air permukaan, penurunan kualitas
air permukaan dan permukaan air tanah.

“Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal,” sambung Rianda.

Dijelaskan bahwa perubahan AMDAL PT AR terjadi sejalan dengan rencana perubahan target produksi bijih emas tahunan, dari yang awalnya 6 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun. Peningkatan jumlah produksi membuat PT AR membutuhkan wilayah penimbunan yang lebih luas. Dalam AMDAL sebelumnya, area TMF tidak ada, sehingga ini merupakan area baru yang membutuhkan lahan baru juga.

Berdasarkan analisis AMDAL PT AR dan rencana pembukaan area TMF baru yang akan membuka tutupan hutan juga habitat satwa dilindungi, Lantam berharap ada peninjauan kembali dampak negatif yang timbul akibat aktivitas PT AR.

Selain itu, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan landasan untuk peninjauan kembali AMDAL baru PT AR, yaitu: Kelemahan analisis biodiversitas, karena pendekatannya masih terbatas pada pencatatan spesies tanpa mengkaji peran ekologis dari masing-masing spesies. Meskipun dokumen AMDAL mengidentifikasi dampak penting hipotetik (DPH) yang lebih berfokus pada hidrologi, kualitas air, dan biologi, tetapi muaranya tetap pada persepsi masyarakat, yang bisa menyebabkan analisis kurang objektif.

Meskipun 96% warga dari 15 desa menyatakan penambangan PT AR menguntungkan ekonomi. Namun dalam banyak kasus, masyarakat lokal berada dalam posisi ekonomi yang rentan, sehingga mereka lebih mudah menerima proyek yang menawarkan manfaat ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensi lingkungan yang lebih luas.

Dokumen AMDAL menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan dapat dilakukan dengan strategi mitigasi yang dianggap memadai. Namun, kurangnya kajian terhadap risiko jangka panjang, termasuk potensi kegagalan infrastruktur (bendungan limbah, pengelolaan air) serta konsekuensi ekologis yang mungkin baru terlihat setelah bertahun-tahun.

Kerusakan yang terjadi di ekosistem ini dapat berdampak luas, tidak hanya pada keanekaragaman hayati tetapi juga pada kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan ini.

“ Ekosistem Batang Toru bukan hanya rumah bagi orangutan dan biodiversitas lainnya, tetapi juga sumber penghidupan bagi ratusan ribu rakyat yang hidup bergantung dari hutan dan air dilanskap Batang Toru.

Ada setidaknya 1200 hektar sawah yang bergantung dari air yang bersumber dari hutan Batang Toru, terancam hilang. Hal ini sangat kontradiktif dengan program swasembada pangan pemerintah. Maka jika lah presiden menganggap program swasembada pangan dari tangan petani
benar-benar prioritas, harusnya presiden berani untuk mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang beraktivitas di landscape Batang Toru,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Upaya pengembalian kondisi Ekosistem Batang Toru melalui revegetasi dan rehabilitasi tidak akan bisa mengembalikan kondisi biodiversitas seperti semula. Analisis Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) juga menilai sekalipun berbagai pendekatan teknologi dikerahkan, tetap tidak akan mampu mengembalikan kondisi Ekosistem Batang Toru.

Sebaliknya, hilangnya habitat akibat deforestasi dapat menyebabkan penurunan populasi orangutan secara drastis dalam beberapa dekade saja. Dengan laju perusakan yang lebih cepat dibandingkan proses pemulihan, ada risiko besar bahwa orangutan bisa punah sebelum Ekosistemnya dapat pulih kembali.

Adapun sejumlah tuntutan diantaranya:

1. Menuntut agar Tambang PT. Agincourt segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di wilayah orangutan Tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Wilayah-wilayah ini adalah habitat kritis
yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi Ekōsistem.

2. mendesak agar Tambang PT. Agincourt menghentikan deforestasi di area
tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektar. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.

3. Menuntut penerapan kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut
(NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, Agro Astra Lestari, agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.

4. Menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak komunitas lokal di sekitar Batang Toru.
Kelima, Kami meminta agar Pemerintah menghentikan kontrak karya PT Agincourt dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi. ●Redaksi/Dw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *