
Mintarsih Abdul Latief: RUPS Bus Big Bird Cacat Hukum, Ini Penjelasannya
HARIAN PELITA —- Jika kita memesan bus Big Bird, maka yang datang mungkin bus Big Bird dan mungkin juga bus Big Bird Pusaka, yang sebenarnya pemiliknya berbeda.
Pada Tahun 1987 hanya ada bus Big Bird. Namun pada Tahun 2005, diam-diam sebagian di antara pemegang saham, mendirikan Big Bird Pusaka, yang sulit dibedakan dari Big Bird, namun melayani order-order Big Bird, serta menggunakan fasilitas Bus Big Bird.
Karena itulah, pemegang saham yang asli Big Bird terlena, dan mengira bahwa Big Bird berkembang seperti sebelumnya. Namun ternyata yang berkembang adalah Big Bird Pusaka.
Mintarsih Abdul Latief, pemegang saham Bus Big Bird mengisahkan;
Pada tahun 2000, terjadi kekerasan pada pemegang saham wanita, usia 72 tahun, dengan visum et Repertum no. 88/VER/V/2000.
Pada pemegang saham wanita yang lain, ada instruksi pengamanan/penculikan yang dilaporkan team pengamanan setelah terjadi kekecewaan dalam perkiraan upah.
“Dan ada notulen rapat bermeterai yang disaksikan oleh notaris atau pengadilan Negeri.” Ironisnya adalah bahwa dua hari sebelum dilakukan pelaporan di Kepolisian, saksi utama ditabrak dan meninggal,”katanya.
Mintarsih mengatakan, pada tahun 2010 beberapa pemegang saham mencium adanya Big Bird Pusaka yang mengambil pesanan-pesanan Big Bird menggunakan fasilitas pool dan lain-lain oleh Big Bird Pusaka.
Maka pemegang saham pecah menjadi pemegang saham kelompok Pusaka yang memiliki saham di Big Bird dan juga di Big Bird Pusaka, dan Pemegang Saham menjual saham Blue Bird (induk perusahaan) ke kelompok Pusaka.
Menurut pengakuan Mintarsih, RUPS Big Bird Tahun 2022 ini belumlah sah. Karena, Big Bird belum menyesuaikan perseroannya dengan Undang2 Perseroan Terbatas no. 1 tahun 1995 dan No40 tahun 2007.
Namun dalam keadaan tidak sah ini, kelompok Pusaka mengadakan rapat terbatas yang hanya dihadiri oleh kelompok Pusaka yang mengangkat hanya kelompok pusaka sebagai pengurus dan Ir Kresna Priawan (kelompok Pusaka) sebagai direktur utama. Karena perseroan belum disesuaikan dengan Undang2 Perseroan Terbatas, maka perseroan belum sah, dan tidak dapat melakukan pengangkatan direksi yang baru. Jabatan direksi tetap dipegang oleh direksi yang lama.
Padahal menurut Mintarsih, pengangkatan pengurus harus melalui pemanggilan /undangan para pemegang saham , dan harus melalui RUPS.
, dan tidak dapat dilakukan secara diam-diam oleh kelompok Pusaka saja, tanpa pemanggilan para pemegang saham dan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Maka pengangkatan Ir Kresna Priawan tidak sah, dan tidak dapat menyebut dirinya sebagai direktur utama di Pengadilan.
Apalagi Undang2 juga menyebutkan bahwa direksi yang mempunyai benturan kepentingan tidak berhak untuk mewakili Perseroan. Dalam hal ini Ir Kresna Priawan mempunyai benturan kepentingan untuk membagikan order Big Bird ke Big Bird Pusaka.
Walaupun demikian, dikatakan Mintarsih, Ir Kresna Priawan sebagai Direktur Utama yang tidak sah ini tetap bertindak sebagai Direktur Utama yang seolah-olah sah, mengabaikan Undang-undang dengan menyebut dirinya sebagai direktur Utama, dan juga mengabaikan bahwa undangan ke para Pemegang Saham untuk menghadiri RUPS I dan RUPS II harus oleh direktur yang sah, yang sekarang masih ada. Dan bukan oleh direktur yang tidak sah, yang diangkat oleh segelintir pemegang saham.
“Jadi secara hukum, pengangkatan Ir. Kresna Priawan sebagai Dirut, pengangkatan pengurus tetap tidak sah. Sedangkan pengadaan RUPS I dan RUPS II yang diundang oleh Ir. Kresna Priawan yang kedudukannya tidak sah secara hukum, haruslah dianggap tidak pernah ada,” jelasnya.
Dikatakan Mintarsih, malah yang terjadi sekarang adalah Ir Kresna Priawan yang pengangkatannya sebagai Direktur Utama tidak sah, meminta ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mensahkan Big Bird permohonan kelompok Pusaka.
Mintarsih menegaskan, Undang-Undang menyebutkan bahwa pengangkatan pengurus termasuk Direktur Utama, harus didahului oleh pemanggilan rapat ke semua Pemegang Saham oleh Direktur. Barulah dilakukan pengangkatan pengurus melalui RUPS.
“Namun yang terjadi adalah, keberadaan Direktur lain diabaikan begitu saja. sehingga RUPS I dan RUPS II yang diundang oleh Kresna Priawan harus dianggap tidak pernah ada,”tambahnya.
.
Dan bahkan permohonan untuk disahkannya RUPS III berdasarkan RUPS I dan RUPS II yang undangannya tidak dilakukan oleh direksi yang sah, haruslah dianggap tidak ada. Dan tidak boleh dimohonkan oleh direktur yang tidak sah, namun harus dikembalikan oleh direktur yang sah secara Undang-undang.
“Jika permohonan semacam ini dimenangkan oleh pengadilan, berarti jelas cara yang dilakukan Big Bird yang ada unsur pelanggaran Undang-Undang Ini merupakan cara yang arogan, ampuh, untuk membuat Keputusan-Keputusan di luar jalur hukum dan akhirnya meminta disahkan oleh Pengadilan Negeri,”ucapnya kesal.
Mintarsih menambahkan, jika perseroan tidak sah, maka tidak ada peraturan yang menjaga keadilan. Sehingga memudahkan untuk melanggar pasal-pasal dan Undang-undang, lalu dibersihkan dengan meminta pengesahannya ke PN Jakarta Selatan.
“Bukankah Ir Kresna sudah berpengalaman akan kekalahannya pada gugatan penggelapan saham PT Ziegler (anak perusahaan Blue Bird) dengan Putusan No. 270/Pdt.G/2001/N.Jkt.Sel, penggelapan akta warisan oleh ayahnya dengan Putusan no. 911/Pdt.G/2001/PAJS, tidak mensahkan akta warisan salah seorang pemegang saham selama 15 tahun, yang akhirnya dimenangkan melalui Putusan MA no. Putusan MA tgl 22 Desember 2017 no. 2845 K/Pdt/2017), yang semuanya dimenangkan oleh pihak lawan.
Apakah akan tetap mengikuti nalurinya atau siap mengikuti prosedur hukum ? Atau mencari keuntungan melalui industri hukum?. ●Red/IA