
Makna Filosofis: Cinta Diri Sendiri, Ekspektasi dan kekecewaan
“Orang yang paling mencintai dirinya sendiri, adalah orang yang paling membenci diri, Ketika dia gagal”
Kutipan Aristoteles ini mengandung makna yang sangat dalam tentang hubungan antara cinta diri, ekspektasi, dan kekecewaan. Aristoteles menyampaikan bahwa cinta diri yang kuat sering kali datang dengan harapan tinggi terhadap diri sendiri
keinginan untuk selalu sukses, selalu sempurna. Ketika seseorang mencintai dirinya dengan cara yang idealis dan penuh ambisi, ia juga menanamkan ekspektasi yang besar pada dirinya sendiri. Ekspektasi inilah yang membuat kegagalan terasa sangat menyakitkan, bahkan menyiksa.
Namun, di balik cinta diri yang besar ini, tersembunyi sisi gelap yang bisa sangat berbahaya. Ketika harapan terlalu tinggi tidak terpenuhi, rasa kecewa bisa berubah menjadi kebencian terhadap diri sendiri. Kegagalan yang seharusnya menjadi pelajaran justru menjadi cambuk menyiksa batin.
Orang yang sangat mencintai dirinya sendiri, dengan harapan-harapan besar itu, bisa merasa bahwa kegagalan adalah cerminan dari kegagalan total dalam hidupnya. Ini bukan hanya sekadar kecewa, tetapi juga merasa bahwa mereka telah mengecewakan diri mereka sendiri dengan cara yang paling dalam dan menyakitkan.
Kebencian terhadap diri sendiri muncul dari kegagalan bisa sangat merusak, terutama jika tidak dikelola dengan bijak. Perasaan ini bisa membuat seseorang merasa tidak layak untuk hidup, merasakan kehampaan yang luar biasa, hingga akhirnya mengarah pada keputusasaan yang mendalam.
Dalam kondisi ekstrem, kebencian begitu intens terhadap diri sendiri bisa mendorong seseorang untuk berpikir bahwa mengakhiri hidup adalah satu-satunya jalan keluar dari rasa sakit yang mereka rasakan.
Bayangkan seseorang yang selama ini selalu menjadi terbaik, selalu dipuji, selalu dianggap sebagai contoh kesempurnaan. Ketika mereka mengalami kegagalan, dunia mereka bisa runtuh dalam sekejap. Rasa benci terhadap diri sendiri bisa tumbuh begitu kuat, seperti api yang membakar habis segala rasa cinta yang dulu ada.
Mereka merasa bahwa mereka tidak hanya gagal dalam suatu hal, tetapi gagal sebagai pribadi. Dalam kegelapan pikiran itu, mereka bisa mulai berpikir bahwa hidup mereka sudah tidak ada artinya lagi, bahwa keberadaan mereka hanya membawa beban dan kekecewaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Inilah titik di mana cinta diri berubah menjadi senjata yang mematikan. Harapan awalnya menjadi pendorong untuk meraih kesuksesan berubah menjadi alasan untuk menghukum diri sendiri ketika tidak mencapai standar yang telah ditetapkan.
Jika seseorang terjebak dalam perasaan ini, tanpa ada dukungan atau bimbingan untuk melihat nilai diri yang sebenarnya, mereka bisa merasa bahwa “Bunuh diri” adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan
Aristoteles mengingatkan kita bahwa cinta diri yang sejati bukanlah tentang menempatkan ekspektasi yang tak tergoyahkan pada diri sendiri, tetapi tentang memahami, menerima, dan memaafkan diri kita ketika kita gagal. Kesuksesan bukanlah tentang tidak pernah gagal, melainkan tentang bagaimana kita bangkit kembali, belajar dari kegagalan, dan terus melangkah maju.
Namun, jika cinta diri berubah menjadi ekspektasi yang tidak realistis, kekecewaan itu bisa menjadi sangat menyakitkan, dan tanpa kebijaksanaan untuk menghadapinya, bisa berujung pada tindakan yang tragis.
Kesedihan mendalam dari mereka yang mencintai diri mereka dengan cara yang keras dan tanpa ampun adalah sesuatu yang sangat nyata. Mereka terjebak dalam lingkaran harapan dan kekecewaan yang menghancurkan.
Kebencian terhadap diri sendiri yang muncul dari kegagalan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng, karena dampaknya bisa sangat menghancurkan, bahkan hingga menyebabkan hilangnya nyawa.
Ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa cinta diri yang sejati harus disertai dengan belas kasih terhadap diri sendiri, karena di dalam setiap kegagalan, ada pelajaran berharga yang bisa membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.**
Aristoteles filsuf Yunani kuno
Source: Teropong filsafat
Editor: Agatha