2024-12-31 8:09

Rekening Rekayasa dan Hilangnya Sertifikat 452 Hektare Kasus BLBI 1998, CBA Desak KPK dan Kejagung

Share

HARIAN PELITA — Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, kembali mengungkap temuan mengejutkan terkait dugaan rekayasa penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998.

Dalam pernyataannya, Uchok menyebut Bank Indonesia (BI) terlibat dalam penggunaan rekening rekayasa untuk menampung dana dan memanipulasi transaksi antarbank, suatu praktik yang sangat merugikan negara dan mengancam integritas sistem perbankan nasional.

Rekening rekayasa itu digunakan oleh BI dalam transaksi antarbank, termasuk kliring. Padahal, sesuai aturan yang berlaku, hanya bank-bank terdaftar yang diizinkan mengikuti kliring di BI.

Namun, adanya rekening khusus yang melanggar regulasi ini membuat transaksi terjadi tanpa prosedur yang sah.

“Rekening ini memungkinkan uang negara masuk dan keluar tanpa mekanisme yang sah, ini adalah pelanggaran serius terhadap aturan perbankan,” tegas Uchok, Senin (30/12/2024).

Dalam praktiknya, rekening rekayasa ini digunakan dalam transaksi jual beli uang antarbank, atau dikenal dengan sebutan call money overnight.

Skema ini memungkinkan bank pembeli uang untuk mengembalikan dana ke rekening bank penjual keesokan harinya, beserta bunga yang tinggi. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah bank penjual tidak mengeluarkan uang, tetapi mendapatkan uang dan bunga dari bank pembeli, dengan dana yang berasal dari rekening rekayasa.

Lebih lanjut, CBA juga menyoroti hilangnya sertifikat lahan seluas 452 hektar yang menjadi jaminan dalam perjanjian Bank Indonesia dengan bank swasta.

Lahan tersebut terletak di Cianjur, Jawa Barat, merupakan jaminan dalam perjanjian jual beli promes nasabah dengan BI. Meskipun BI mengklaim telah menyerahkannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Kepala KPKNL Jakarta 1, Rofli Edi Purnomo, mengungkapkan bahwa sertifikat tersebut tidak pernah diterima oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Keberadaan sertifikat ini harus dijelaskan secara transparan. BI, BPPN, dan DJKN Kementerian Keuangan wajib bertanggung jawab atas penggelapan ini,” ujar Uchok, menambahkan bahwa lahan yang sebelumnya bernilai sekitar Rp350 miliar kini diperkirakan memiliki nilai yang jauh lebih besar.

CBA mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung segera melakukan investigasi mendalam terhadap kedua kasus ini.

Uchok menekankan bahwa penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam lembaga keuangan negara ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara jika tidak segera ditindaklanjuti. ●Redaksi/Satria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *