2025-05-24 22:17

Belajar dari Ranah Minang || Oleh Agus Harimurti Yudhoyono

Share

SAMBUTAN  ribuan warga korban bencana gempa di Pasaman Barat dan Pasaman, Sumatera Barat, (21-22/3), sungguh di luar dugaan saya.

Hati saya bergemuruh, campur aduk. Ada perasaan kaget, terharu, senang, bersemangat, kagum, sekaligus bangga. Sulit mencari satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hati saya.

Awalnya saya berpikir akan melihat kesedihan dan duka lara di dua tempat itu. Tetapi, yang saya saksikan justru sebaliknya. Mereka menyambut saya dengan antusiasme; riang gembira mengajak berswafoto dan mengikuti di belakang saya dari titik kunjungan pertama hingga ke posko pemberian bantuan, sepanjang satu kilometer.

Padahal, suasana di lokasi bencana masih jauh dari pulih. Ratusan bahkan mungkin ribuan warga masih tinggal di tenda-tenda. Saya juga menyaksikan banyak bangunan yang roboh, bahkan rata dengan tanah.

Hangatnya sambutan masyarakat itu membuat saya tertegun. Mereka seolah lupa bahwa baru saja ada gempa yang meluluhlantakkan pemukiman dan lingkungan mereka.

Semua itu mengonfirmasi pandangan kita selama ini. Warga Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang ulet, bermental baja, tahan banting, tidak mudah patah, dan mampu segera bangkit dari keterpurukan.

Mentalitas masyarakat Sumatera Barat yang kuat itu merupakan cermin kearifan lokal. Sebuah kultur masyarakat yang dibangun di atas kesadaran ilmu dan agama, juga tradisi rantau atau petualang.

Sebuah lingkungan masyarakat yang tidak hanya membentuk karakter gigih dan persisten, tetapi juga membuat warganya berpandangan luas dan terbuka.

Dari masyarakat Minangkabau, kita belajar bahwa musibah terbesar yang dialami manusia bukanlah bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir bandang, atau tanah longsor.

Bencana terbesar sesungguhnya adalah hilangnya semangat juang dan komitmen kita untuk terus berikhtiar, agar segera bangkit dari kesulitan. Inilah nilai-nilai luhur Ranah Minang yang harus kita teladani bersama.

Poin penting inilah yang saya sampaikan kepada rombongan dari Jakarta di hadapan lebih dari 80 orang Anggota Legislatif dari Fraksi Partai Demokrat, mulai dari level DPR RI, DPRD Provinsi, hingga Kabupaten dan Kota, serta para Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) se-Sumatera Barat.

Saya memang sengaja mengajak mereka untuk menginap dan berkemah di lokasi bencana. Tujuannya bukan hanya untuk menyemangati dan menghibur warga di sekitar bencana, tetapi juga melatih empati para wakil rakyat.

Bayangkan bagaimana rasanya masyrakat tidur di tenda-tenda darurat selama berminggu-minggu lamanya. Saya ingin para wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) meresapi perasaan warga yang terdampak bencana alam.

Ini seperti halnya umat Muslim dan umat agama lainnya melaksanakan ibadah puasa. Mustahil rasanya untuk berempati kepada orang yang kesulitan mencari sesuap nasi jika kita tidak pernah merasakan kelaparan. Itulah mengapa diwajibkan kepada kita untuk berpuasa pada periode tertentu, sebagai latihan pembinaan diri.

Begitu juga kegiatan berkemah di tempat pengungsian bagi para wakil rakyat dari FPD  ini juga merupakan latihan pembinaan diri. Mereka diharapkan untuk terus menjadi bagian dari solusi permasalahan rakyat, utamanya di daerah bencana.

Dalam kegiatan itu, kami juga memberikan program pengobatan pasca bencana (trauma healing) untuk membangkitkan kepercayaan diri warga atas kondisi lingkungan yang aman pasca gempa.

Semua itu kami lakukan sebagai bagian dari tugas kemanusiaan, sekaligus membangkitkan empati dan kepekaan sosial kita terhadap realitas dan penderitaan masyarakat di sekitar kita.

Bersamaan dengan itu pula, atas dukungan swadaya para kader Partai Demokrat, berbagai bantuan laiknya hunian sementara (Huntara), paket sembako, perbaikan Masjid, dan perlengkapan ibadah juga kami distribusikan kepada warga.

Inilah wujud sinergi dan kolaborasi kita semua, seluruh elemen masyarakat yang ada, untuk senantiasa berikhtiar dan bekerja sama meringankan beban hidup sesama anak bangsa.

*Data dan Potensi Bencana*

Gempa yang terjadi pada 25 Februari dan 14 Maret lalu bukanlah gempa besar pertama yang menimpa Ranah Minang.

Menurut catatan sejarah modern, setidaknya ada 9 gempa besar yang terjadi di Sumatera Barat. Mulai gempa pada tahun 1835, disusul gempa tahun 1904 yang juga memicu tsunami. Lalu gempa tahun 1926 yang menyebabkan 345 orang meninggal. Kemudian disusul gempa tahun 1971, 1977, 1995, dan 2004.

Selanjutnya, gempa besar kembali terjadi pada tahun 2009 dan 2010 dengan kekuatan skala 7,7 magnitudo yang menelan banyak sekali korban jiwa.

Sebagaimana dikonfirmasi oleh para pakar seismologi (Daryono, 2022; Yulianto, 2014; Mustafa, 2020), rangkaian gempa itu memberikan data dan pelajaran berharga tentang ada bidang rekahan (rupture) yang membentuk kluster memanjang dan bisa jadi memunculkan “segmen sesar baru” pemicu gempa.

Semua ini, lagi-lagi, mengingatkan kita semua pada nasihat para ilmuwan yang sering mengungkap adanya ancaman Megathrust dengan potensi gempa berkekuatan magnitude 8,9 SR di Sumatera Barat yang wajib kita waspadai bersama.

Melalui rangkaian gempa ini, Bumi kita seolah sedang mengajak kita bicara, berdialog dan memberi tahu umat manusia, bahwa ia tidak tidur. Semua ini menjadi wake-up call bagi kita semua untuk senantiasa siaga dan waspada.

Ilmu pengetahuan bisa menganalisa, mengetahui dan memprediksi dimana potensi gempa. Namun ilmu pengetahuan tetap belum mampu mengetahui secara presisi kapan gempa akan terjadi. Misteri itu harus kita sikapi dengan menyiapkan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi bersama.

*Antisipasi dan mitigasi Bencana*

Setiap fenomena alam harus kita pahami sebagai bagian dari kesadaran ilmu atas hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang terus berjalan di sekitar kita. Karena itu, langkah-langkah antisipasi dan mitigasi, harus kita lakukan untuk mengurangi risiko bencana.

Pertama, perlu mendorong inovasi teknologi pembangunan gedung, rumah dan fasilitas publik dengan kualitas struktur tahan gempa. Kerja sama dengan universitas dan organisasi profesi menjadi penting untuk mendorong inovasi dan implementasi ide-ide ini.

Kedua, membangun kualitas sistem peringatan dini terjadinya gempa atau tsunami yang terkoneksi dengan teknologi BMKG.

Sebagaimana yang ada di Jepang, peringatan gempa atau tsunami bisa terkirim ke ponsel atau jaringan telekomunikasi warga, hanya dalam hitungan detik. Sistem peringatan dini ini akan memberikan kesempatan bagi warga untuk menyelamatkan diri melalui berbagai skema.

Ketiga, perlunya melakukan pelatihan evakuasi dini di kantor-kantor, pasar, pesantren, hingga sekolah-sekolah secara konsisten, untuk mengantisipasi ancaman bencana yang tidak terprediksi.

Jika diperlukan, program-program pelatihan dan simulasi latihan kebencanaan itu dapat dituangkan ke dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Instruksi Gubernur, agar bisa dijalankan secara rutin per enam bulan atau setahun sekali, untuk memupuk kesiapsiagaan warga menghadapi bencana. 

Keempat, membangun sistem antisipasi yang terintegrasi, dengan menyiapkan jalur evakuasi vertikal dan horizontal yang selanjutnya harus sering disosialisasikan secara intens kepada masyarakat yang rawan terdampak bencana.

Rambu-rambu untuk menjauhi bibir pantai dan pendataan bangunan yang memungkinkan menjadi shelter untuk evakuasi warga, perlu terus dievaluasi, diperbaiki, dan disosialisasikan secara berlanjutan.

Kelima, kita juga harus menjaga dan meningkatkan kualitas sinergi dan kolaborasi antara elemen pemerintah dengan berbagai stakeholders masyarakat lokal, agar program-program kebencanaan yang kita jalankan bisa benar-benar menghasilkan langkah-langkah yang lebih riil, sistematis dan terukur.

Jika program-program itu berhasil diterapkan di Ranah Minang, maka suatu saat saya yakin Sumatera Barat bisa menjadi role model langkah-langkah kebijakan penanggulangan bencana yang ideal.

Kelak, dari Ranah Minang, kita bukan hanya akan belajar karakter ulet dan tangguh warganya, tetapi juga sistem dan kesadaran serta kesiapsiagaan warganya menghadapi bencana alam.

Sebagai negara yang rawan terhadap bencana alam, tentu saja Indonesia membutuhkan contoh terbaik dalam mengantisiipasi dan memitigasinya. Insya Allah, Indonesia akan belajar dari Ranah Minang. *** ●Penulis Ketua Umum Partai Demokrat & Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga, Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *