
Berakhirnya Kedaulatan Rakyat || Oleh Junet Hariyo Setiawan
INDONESIA adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam alenia keempat preambule Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 dan diuraikan disebutkan kembali di dalam batang tubuh pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Tetapi sejak dilakukan amandemen UUD 1945 yang ketiga pada tanggal 1-9 November 2001, pasal tersebut diubah bunyinya menjadi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dengan tambahan ayat (3) yang menjelaskan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”.
Perubahan dari klausul pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut kemudian lahir banyak perspektif yang berkaitan dengan teori kedaulatan yang dianut oleh Indonesia. Sebagian tetap menyatakan menganut kedaulatan rakyat dan sebagaian lagi menyatakan bahwa Indonesia menganut kedaulatan hukum.
Argumentasi yang kedua tersebut didukung dan didasarkan pada klausul UUD pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “segala warga negara bersamaan didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggu hukum itu dengan tidak ada kecualinya”. Maka kemudian lahirlah pandangan ketiga bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat dan juga kedaulatan hukum.
Perbedaan tersebut tidaklah menjadi persoalan dan wajar adanya sebagai bagian dari upaya penafsiran Undang-undang yang didasarkan pada berbagai teori kedaulatan yang pernah ada.
Persoalan baru muncul kmanakala penafsiran tersebut digunakan untuk membangun norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi bila hal itu bertentangan dengan nilai-nilai historis dan tujuan bangsa Indonesia.
Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang tidak bergantung pada apapun. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa teori kedaultan rakyat dikemukakan oleh J.J Rousseau, Montesquicu serta John Locke yang kemudian menerjemahkan kedaulatan rakyat kedalam berbagai macam permodelan termasuk pembagian kekuasaan serta pernyataan bahwa kedaulatan rakyat tersebut harus menjelma kedalam perundang-undangan.
Terlepas dengan berbagai permodelan yang ada, perlu dipahami bahwa teori-teori tersebut lahir sebagai kritik terhadap situasi dan kondisi yang terjadi pada masa lalu atau situasi yang terjadi di dalam ruang dimana teori itu dilahirkan. Beberapa tokoh tersebut hidup pada kisaran Abad 16 sampai dengan abad 17 bersamaan dengan berkembangnya kedaulatan raja yang diusung oleh Perancis
Memperhatikan kondisi tersebut, maka konsep kedaulatan rakyat yang terdapat di dalam UUD 1945 juga memiliki makna dan permodelan yang berbeda dengan teori kedaulatan rakyat pada umumnya, utamanya dipengaruhi oleh perbedaan sejarah dan juga alur yang tergambar di dalam pelaksanaan kedaulatan itu sendiri. Konsep kedaulatan dalam konteks Indonesia lahir bersamaan dengan lahirnya negara.
Gagasan negara berkedaulatan rakyat tersebut berkaitan erat dengan sejarah Indonesia sebagai bangsa yang terjajah, dimana dari tiga setangah abad, rakyat tidak pernah memiliki kesempatan untuk membangun aturan-aturan dasarnya sendiri di dalam kehidupan berbangsa, tetapi dipaksa untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh bangsa lain dalam semua aspek kehidupan.
Kondisi tersebut merupakan cermin bahwa rakyat tidak pernah berdaulat.
Setelah Indonesia merdeka serta membangun Negara, maka kedaulatan rakyat menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kata lain bahwa apapun yang dilakukan oleh negara harus dalam rangka untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat. Semua itu secara implisit dijelaskan di dalam preambule UUD 1945.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua itu lalu dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat?. Mencermati isi dari preambule UUD 1945, kedaulatan rakyat yang dimaksud oleh para pendiri bangsa sama sekali berbeda dengan teori-teori kedaulatan rakyat yang berkembang di belahan dunia lain.
Terdapat satu hal yang fundamental yang membedakan yaitu keberadaan Pancasila. Lebih lanjut, alenia keempat preambule UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa kedaulatan rakyat yang hendak diwujudkan itu harus didasarkan kepada sila-sila Pancasila.
Oleh karena Pancasila menempatkan Ketuhanan pada sila yang paling utama dan menjiwai sila-sila selanjutnya sampai pada sila keadailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka dapat dikatakana bahwa kedaulatan Indonesia adalaha kedaulatan Tuhan.
Meskipun demikian, kedaulatan Tuhan dalam konteks ini juga berbeda dengan kedaulatan Tuhan yang berkembang di dalam teori yang berkembang, berbeda dengan yang dianut oleh Negara Vatikan, Arab Saudi maupun Jepang. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya merupakan ukuran dari pencapaian kedaulatan rakyat tersebut.
Bila keadilan sosial belum terwujud dan belum dirasakan oleh seluruh rakyat, maka sejatinya kedaulatan rakyat tidak pernah terwujud.
Kedua, bunyi pasal 2 ayat (1) mengandung banyak makna. Pertama bahwa imbuhan “di” pada kalimat ditangan rakyat menjelaskan secara tegas bahwa kedaulatan itu bersifat “given”, bukan hasil perjuangan ataupun pengambilalihan. Dalam pada itulah kemudian diperlukan sebuah Majelis yang berasal dari rakyat yang kemudian diserahi tugas untuk menjalankan kedaulatan rakyat tersebut. Majelis itu bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Amandemen pasal 1 ayat (2) yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001 telah meruntuhkan makna kedaulatan rakyat yang dilahirkan oleh Bangsa Indonesia berdasarkan pada sejarahnya dan bergerak menuju kedaulatan yang berasal dari belahan dunia lain. Kalimat “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” telah meruntuhkan makna “given” dan menghilangkan kedaulatan rakyat itu sendiri karena faktanya di dalam UUD 1945 hasil amandemen, tidak ditemukan satupun bab dan juga pasal yang mengatur pelaksanaan dari kedauatan rakyat itu sendiri.
●Penulis Mahasiswa Universitas MPU Tantular, Legal di HK Law Office